kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tantangan perekonomian tahun 2018


Jumat, 15 Desember 2017 / 15:09 WIB
Tantangan perekonomian tahun 2018


| Editor: Tri Adi

Belum lama ini diberitakan bahwa tantangan perekonomian Indonesia tahun 2018 masih relatif berat. Bank Indonesia (BI) telah menyampaikan beberapa tantangan perekonomian tahun depan yang sudah ada di depan mata. Ada tantangan yang berasal dari faktor domestik dan faktor eksternal.

Di antaranya terkait struktur ekspor Indonesia, belum meratanya negara tujuan ekspor, ketergantungan pada impor jasa, pembiayaan dari dalam negeri yang belum optimal dan potensi risiko dari berkembangnya tren ekonomi digital. Sedangkan dari faktor eksternal yaitu kebijakan pengetatan moneter di beberapa negara, kondisi geopolitik, pemulihan ekonomi dunia yang belum mantap. Risiko lain adalah tren penguatan harga minyak dunia yang cenderung menguat dan depresiasi nilai tukar rupiah.

Kekhawatiran ini sebenarnya dipicu oleh rilis Badan Pusat Statistik (BPS) tentang pertumbuhan ekonomi kuartal III-2017 mengagetkan banyak pihak. Secara umum, pelaku ekonomi merasa kecewa terhadap kinerja ekonomi karena di bawah ekspektasi.

Perekonomian kuartal III hanya 5,06% year on year (yoy). Berdasarkan struktur pengeluarannya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,93%, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) sebesar 7,11%, ekspor 17,27%, konsumsi pemerintah 3,46%, konsumsi lembaga non profit rumah tangga (LNPRT) 6,01%, dan impor sebesar 15,09%.

Angka ini di bawah konsensus para analis yang memperkirakan ekonomi tumbuh 5,12% dan di bawah perkiraan Bank Indonesia yang memprediksi 5,17%. Memang jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi kuartal I dan II yang tumbuh 5,01%, angkanya sedikit lebih tinggi, namun realisasi yang di bawah ekspektasi memperkuat kesan bahwa ekonomi memang condong jalan di tempat.

Secara akumulatif, rata-rata pertumbuhan ekonomi tiga kuartal pertama tahun ini hanya berada 5,027%, jauh di bawah target pemerintah yang tertuang dalam APBN Perubahan 2017 yaitu sebesar 5,2%. Sepertinya target sebesar itu hampir mustahil tercapai, karena secara matematis untuk memenuhinya berarti ekonomi kuartal IV harus tumbuh 5,72%.

Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan ekonomi adalah adanya perlambatan konsumsi masyarakat, karena kontribusinya terhadap pembentukan PDB adalah yang terbesar yaitu 55,68%. Angka 4,93% bahkan lebih lambat dibanding pertumbuhan kuartal II dan I yaitu  5,01% dan 4,95%. Secara lebih rinci, perlambatan konsumsi bisa dipotret dari angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).

Berdasarkan survei Bank Indonesia, IKK Oktober 2017 sebesar 120,7. Dibanding bulan September, turun  3,1 poin. Penyebab turunnya IKK karena dua komponen pembentuknya yaitu Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) maupun Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) juga turun. IKE turun 2,7 poin menjadi 107,6 dan IEK turun 3,4 poin menjadi 133,8 dibanding bulan sebelumnya.

Stagnasi ekonomi

Lembaga survei Nielsen memperkuat temuan Bank Indonesia. Hasil survei Nielsen terkait kinerja industri ritel menunjukkan pertumbuhan penjualan sepanjang Lebaran tahun ini dibanding tahun lalu year on year hanya 5%. Pertumbuhan tersebut paling rendah dalam lima tahun terakhir.

Padahal, pada momentum Lebaran 2012, pertumbuhan penjualan ritel sempat tumbuh 38,7% (yoy). industri barang konsumsi kemasan atau fast moving consumer good (FMCG) sepanjang tahun ini (year to date) hanya tumbuh 2,7%. Padahal rata-rata pertumbuhan industri tersebut mencapai 11% dalam lima tahun terakhir.

Pertumbuhan industri ritel secara keseluruhan pada September 2017 menurut catatan Nielsen hanya tumbuh 3,8% di banding bulan sebelumnya. Pertumbuhan tersebut jauh dibawah rata-rata pertumbuhan ritel yang biasanya mencapai 10%-11%.

Berkaca dari fakta di atas, diskursus tentang pelemahan daya beli masyarakat kembali menemukan momentum. Setelah beberapa kali cenderung membantah, baru-baru ini pemerintah mengakui bahwa daya beli masyarakat memang cenderung melemah.

Pernyataan ini dikonfirmasi Menko Ekonomi Darmin Nasution, yang menyatakan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% tahun ini dinilai terlalu tinggi dan cenderung kurang realistis. Dia memperkirakan dengan skenario optimistis, perekonomian Indonesia tahun ini kemungkinan hanya tumbuh 5,1%, meski beberapa ekonom dan lembaga riset menilai agak sulit merealisasikan.

Mereka memprediksi ekonomi tahun ini hanya tumbuh 5,05%-5,06%. Untungnya perlambatan konsumsi dapat dikompensasi dengan pertumbuhan investasi (PMTB) dan ekspor yang naik di atas perkiraan yaitu sebesar 7,11% dan 17,27%.

Rendahnya realisasi pertumbuhan ekonomi ini menjadi kekhawatiran banyak pihak mengenai kemungkinan stagnasi ekonomi Indonesia. Oleh sebab itu perlu ada upaya ekstra keras dari para pemangku kepentingan, terutama pemerintah untuk mencegah supaya hal tersebut tidak terjadi.

Ada beberapa strategi kebijakan yang bisa ditempuh. Pertama, karena faktor utama adalah lemahnya daya beli, pemerintah harus mendorong peningkatan konsumsi masyarakat dalam jangka pendek. Program berupa cash transfer yang dikemas dalam sebuah kebijakan agar masyarakat berpenghasilan rendah bisa langsung membelanjakan uangnya. Sedikit banyak, hal ini akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan konsumsi masyarakat.

Sedangkan terhadap masyarakat golongan menengah ke atas, pemerintah harus cermat membaca adanya pergeseran pola dan struktur belanja atau pengeluaran mereka. Golongan ini sekarang cenderung menahan belanja untuk pembelian makanan dan pakaian. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengonfirmasi bahwa ada peningkatan yang cukup signifikan di dunia perbankan dengan adanya peningkatan simpanan masyarakat nominal senilai Rp 2 miliar  ke atas.

Pergeseran pola belanja mengikuti perkembangan ekonomi digital tidak dapat disangkal. Sedangkan struktur pengeluaran, cenderung beralih dari konsumsi non leisure menuju leisure  seperti pariwisata. Ini harus disikapi pemerintah dengan menggenjot destinasi wisata beserta infrastruktur dan kelembagaannya.

Kedua, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu terus menjaga tingkat inflasi dalam tren yang rendah. Langkahnya dapat dimulai dari pengendalian suplai barang dan menjaga stabilitas harga baik untuk administered price maupun volatile goods.

Ketiga, menjaga momentum tingginya investasi maupun ekspor. Regulasi penghambat dan tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah perlu dicarikan solusi yang menguntungkan kedua pihak. Peningkatan peringkat Ease of Doing Business (EoDB) dari posisi 91 ke 72 bisa dijadikan salah satu faktor pendukung.

Keempat, mempercepat realisasi belanja pemerintah di sisa tahun anggaran yang ada. Harapannya hal ini dapat membantu agar pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2017 bisa memuaskan.                

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×