Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Di tengah kelesuan ekonomi, perusahaan pembiayaan (multifinance) tetap mampu tumbuh, meskipun melandai pada tahun ini. Ada ragam tantangan yang melanda salah satu industri keuangan tersebut.
Pada September 2018, muncul kasus perusahaan pembiayaan PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) yang diduga menggunakan penjaminan dengan piutang fiktif sehingga kerugian ditaksir mencapai Rp 14 triliun. Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin delapan perusahaan pembiayaan dan membekukan sekitar.
Lantas, sejauh mana kinerja perusahaan pembiayaan tersebut? Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tanggal 29 September 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan menegaskan kegiatan perusahaan pembiayaan adalah melakukan usaha sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring) , kartu kredit dan pembiayaan konsumen (consumer finance).
Sebelumnya kinerja perusahaan pembiayaan dibagi menurut lima jenis usaha yakni sewa guna usaha, anjak piutang, kartu kredit, pembiayaan konsumen dan pembiayaan lainnya. Namun sejak September 2016, kinerja perusahaan pembiayaan disajikan menurut pembiayaan investasi, modal kerja, multiguna, pembiayaan lainnya berdasarkan persetujuan OJK dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Dan memang, data OJK menunjukkan total pembiayaan hanya tumbuh 5,92% dari Rp 411,19 triliun per Oktober 2017 menjadi Rp 435,55 triliun per Oktober 2018. Pertumbuhan yang menipis dari 6,06% pada bulan sebelumnya.
Rinciannya, pembiayaan investasi naik cukup signifikan 16,18% dari Rp 117,19 triliun menjadi Rp 136,15 triliun dengan kontribusi 31,26% dari total pembiayaan Rp 435,55 triliun. Pembiayaan modal kerja naik tipis 3,19% dari Rp 23,52 triliun menjadi Rp 24,27 triliun (5,57%). Sedangkan pembiayaan multiguna naik 6,28% dari Rp 239,29 triliun menjadi Rp 254,32 triliun (58,39%).
Sementara itu, pembiayaan lain berdasarkan persetujuan OJK naik 5,47% dari Rp 128 miliar menjadi Rp 135 miliar (0,03%). Sebaliknya, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah justru turun signifikan 33,42% dari Rp 31,06 triliun menjadi Rp 20,68 triliun (4,75%).
Meskipun rapor kurang menggelora, perusahaan pembiayaan mampu meningkatkan laba bersih 22,24% dari Rp 11,15 triliun menjadi Rp 13,63 triliun.
Beragam tantangan
Lantas, bagaimana tantangan dan prospek perusahaan pembiayaan pada 2019? Pertama, tantangan yang paling mencolok adalah kenaikan suku bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7 DRRR) yang kini mencapai 6%. Dengan demikian, hingga medio November 2018, Bank Indonesia (BI) telah mengerek BI 7 DRRR enam kali sebesar 175 basis poin (bps) dari 4,25% pada 19 April 2018 menjadi 6%.
Kenaikan BI 7 DRRR itu mendorong kenaikan suku bunga deposito yang kemudian menyetrum kenaikan suku bunga kredit. Hal itu mencerminkan likuiditas di pasar semakin kering. Oleh karena itu, suku bunga pembiayaan perusahaan pembiayaan otomatis akan merangkak naik.
Kedua, celakanya kenaikan suku bunga kredit itu justru menjadi hambatan bagi bisnis perusahaan pembiayaan. Mengapa? Karena daya beli masyarakat belum tampak membaik seiring dengan kondisi ekonomi yang belum pulih benar.
Ketiga, salah satu kiat untuk tetap mampu bertahan dalam persaingan yang semakin ketat, maka perusahaan pembiayaan harus menaikkan tingkat efisiensi. Data mencatat bahwa rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) sedikit membaik (menurun) dari 81,38% per Oktober 2017 menjadi 80,52% per Oktober 2018.
Dengan kalimat lebih lugas, perusahaan pembiayaan wajib mengerem pengeluaran yang tak mendesak seperti biaya lembur yang mendorong kenaikan biaya listrik dan air dan biaya perjamuan (entertainment). Upaya itu bertujuan final untuk mendorong penurunan rasio BOPO agar di bawah ambang batas 70%-80%. Efisiensi merupakan kunci untuk memenangi persaingan yang makin sengit.
Keempat, lebih dari itu, perusahaan pembiayaan perlu menggenjot modal. Modal merupakan bantal yang memberikan perlindungan terhadap aneka potensi risiko yang melekat pada bisnis suatu institusi. Risiko tersebut akan memengaruhi keamanan dana deposito, kredit yang dikucurkan dan institusi bersangkutan. Modal tersebut bertujuan untuk memberikan kepercayaan kepada deposan, pemberi pinjaman dan pemangku kepentingan (Michel Crouhy, Dan Galai & Robert Mark, 2000).
Alhasil, perusahaan pembiayaan perlu menggali modal dengan menerbitkan kembali obligasi. Hal itu bertujuan supaya perusahaan pembiayaan tidak terlalu tergantung pada bank sebagai pemegang saham pengendali. Hasilnya dapat bermanfaat untuk menggantikan obligasi yang sudah jatuh tempo. Atau untuk menata kembali profil utang atau menata ulang jatuh tempo pembayaran pokok obligasi (reprofiling).
Ingat senantiasa bahwa perusahaan pembiayaan juga wajib memenuhi persyaratan modal minimum Rp 100 miliar. Kewajiban itu dapat ditunaikan secara bertahap hingga 2019. Tegasnya, kebutuhan tambahan modal pun bertujuan untuk memenuhi persyaratan modal minimum itu.
Kelima, keberanian untuk membiayai sektor produktif seperti kredit modal kerja dan kredit investasi apalagi proyek infrastruktur menjadi lompatan jauh untuk lebih berkembang.
Keenam, perusahaan pembiayaan juga wajib membenahi tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate government (GCG) dengan menerapkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi dan kewajaran. Penerapan prinsip-prinsip itu diharapkan dapat meninggalkan praktik di luar etika bisnis. Sebut saja, penjaminan fiktif yang justru akan mengakibatkan risiko reputasi bagi perusahaan pembiayaan.
Ketujuh, selain itu, perusahaan pembiayaan harus meningkatkan kualitas kredit. Intinya, rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF) terus ditekan serendah mungkin meski kini telah menipis dari 4,08% menjadi 3,21%, di bawah ambang batas 5%.
Kedelapan, perusahaan pembiayaan juga harus pasang kuda-kuda untuk mampu menghadapi disrupsi teknologi. Saatnya bagi perusahaan pembiayaan untuk menggandeng perusahaan teknologi finansial (tekfin) untuk membangun pembiayaan digital (digital financing).
Pemanfaatan teknologi informasi baik oleh bank maupun perusahaan pembiayaan akan mendorong kenaikan pangsa pasar (market share) karena lebih mampu menembus pasar generasi milenial. Karena generasi ini merupakan segmen pasar yang akrab dengan teknologi informasi. Alhasil, perusahaan pembiayaan akan kian sigap dalam menghadapi ragam tantangan pada tahun 2019 yang sarat persaingan terlebih dari investor asing yang bermodal raksasa.•
Paul Sutaryono
Staf Ahli Pusat Studi BUMN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News