Reporter: Hendrika Yunapritta | Editor: Asnil Amri
Saat banyak orang di Indonesia sedang menikmati liburan, di Amerika, Presiden Donald Trump mengeluarkan pengumuman yang mengejutkan. Pengumuman yang disebut Gedung Putih sebagai liberation day, terkait pengenaan tarif bagi negara-negara yang selama ini menjadi mitra dagang Amerika Serikat.
Penetapan tarif global, minimal 10% untuk semua impor Amerika Serikat berlaku mulai 5 April 2023, dan tarif tambahan yang menargetkan 60 negara, diterapkan mulai 9 April 2025. Indonesia, adalah satu dari 60 negara yang dimaksud oleh pemerintah AS tersebut.
Amerika Serikat, sejatinya bukan tujuan terbesar ekspor Indonesia. Secara nilai, ekspor ke AS masih kalah jauh dibandingkan dengan ke China. Tahun 2024, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat tercatat US$ 26,31 miliar, sedangkan ke China US$ 62,4 miliar pada periode yang sama. Hanya saja, neraca perdagangan kita tercatat surplus dengan Amerika, yakni US$ 16,68 miliar. Tahun lalu, itu adalah surplus terbesar bagi kita, dibanding dua tujuan ekspor lain, yakni India dan Filipina yang juga menyumbang surplus.
Ke depan, ekspor Indonesia ke negeri Uwak Sam bakal lebih menantang, dengan pengenaan tarif resiprokal yang signifikan, sebesar 32%. Bagi negara di ASEAN, tarif untuk Indonesia tergolong tinggi, meski masih kalah dengan Kamboja (49%), Vietnam (46%), dan Thailand (36%).
Dasar pengenaan tarif bagi Indonesia yang cukup tinggi itu, antara lain karena Pemerintah AS mengklaim Indonesia mengenakan tarif 64% pada barang impor dari Amerika Serikat. Padahal, menurut data dari World Bank, rata-rata tarif impor dari Amerika ke Indonesia hanya berkisar 4,2%. Jadi, diperkirakan klaim itu, salah satunya, berasal dari hambatan non tarif.
Baca Juga: Mencegah PHK Massal Terus Merebak
Pada akhir Maret 2025 lalu, Kementerian Perdagangan Amerika Serikat mengeluarkan 2025 National Trade Estimate untuk Presiden Trump, yakni laporan detail tentang berbagai hambatan yang dialami para eksportir Amerika Serikat di negera tujuan mereka. Laporan ini menjadi acuan pengenaan tarif.
Di Indonesia, rupanya eksportir Amerika mengalami banyak tantangan. Ini tidak mengherankan, karena pemerintah Indonesia mesti melindungi produk lokal agar bisa bersaing. Ada beberapa yang menarik, yang mestinya dapat dibenahi untuk kebaikan kita sendiri. Sebut saja, penetapan pajak dan cukai. Dilaporkan proses audit untuk pajak cenderung tidak transparan dan rumit disertai mekanisme sengketa yang panjang. Selain itu, ada perbedaan pengenaan bea di berbagai wilayah, untuk produk yang sama.
Hambatan non tarif yang dianggap paling signifikan adalah izin impor, karena banyak persyaratan yang tumpang tindih. Dokumen ini juga menyoroti tentang kurangnya penegakan hukum, terutama bagi pemalsu merek dan hak cipta yang masih merajalela di Indonesia.
Dari hambatan di dokumen tersebut, sebenarnya kebanyakan adalah pekerjaan rumah lama yang selalu gagal kita rampungkan. Padahal, tarif Trump yang berlaku global ini juga sudah menciptakan PR baru. Misalnya saja, kita harus bersiap menghadapi banjir impor barang dari China dan Vietnam, yang kena tarif sangat tinggi oleh Amerika. Mereka sudah pasti mencari pasar alternatif ekspor. Nah, bagaimana produk lokal bisa kian bersaing melawan mereka.
Di sisi lain, kita jangan hanya pasrah, karena sebagian eksportir terdampak tarif adalah industri padat karya seperti apparel dan sepatu dan lantas terancam tak bersaing serta tutup. Namun, bagaimana memanfaatkan peluang saat pesaing dekat kita, Vietnam, ternyata kena tarif lebih tinggi.
Tentu saja, kita juga menunggu upaya Pemerintah untuk melakukan negosiasi, terkait tarif resiprokal tersebut.
Selanjutnya: Usai Lebaran Timbangan Rata Kanan? Ini Cara Menurunkan Berat Badan Setelah Idul Fitri
Menarik Dibaca: Manfaat Temulawak untuk Asam Lambung, Ulasannya Lengkapnya di Sini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News