Reporter: Bagus Marsudi | Editor: Tri Adi
Mulai Sabtu (29/9) dini hari nanti, pemerintah bakal menerapkan tarif integrasi untuk ruas tol Jakarta Outer Ring Road (JORR). Integrasi akan menerapkan sistem transaksi terbuka. Pengguna tol hanya melakukan satu kali transaksi pada gerbang tol masuk (on-ramp payment).
Sebelumnya, dengan sistem transaksi tertutup, pengguna tol harus melakukan 2–3 kali transaksi untuk menggunakan ruas tol JORR sepanjang 76 kilometer yang terdiri dari 4 ruas tol dan dikelola oleh empat badan usaha jalan tol (BUJT), yakni PT Jasa Marga, PT Jakarta Lingkarbarat Satu, PT Marga Lingkar Jakarta, dan PT Hutama Karya.
Sebagai konsekuensi integrasi tol, ada perubahan tarif. Tarif yang digunakan adalah tarif rata-rata ruas tol tersebut dikalikan penggunaan rata-rata jalan tol tersebut. Pengguna tol JORR jarak jauh akan diuntungkan dibandingkan dengan pengguna tol jarak dekat. Sebagai gambaran, jika sebelumnya kendaraan Golongan V yang melintasi keseluruhan ruas ini harus merogoh kocek Rp 94.500, dengan integrasi, tarif akan turun jadi Rp 64.500. Namun ruas pendek yang sebelumnya hanya Rp 9.500 bagi Golongan I akan naik menjadi Rp 15.000.
Perubahan tarif ini menyisakan problem. Sebab, pengguna kendaraan pribadi (gol 1) yang selama ini cukup banyak menggunakan ruas JORR menganggap integrasi tarif ini menunjukkan bahwa pengelola jalan tol menaikkan tarif. Terakhir, kenaikan tarif ruas tol JORR terjadi pada 1 November 2015 sebesar 11%. Menurut ketentuan, kenaikan tarif dikenakan dalam dua tahun sekali dan besarannya mengikuti inflasi. Nah, kali ini kenaikannya mencapai 58%, jauh dari nilai inflasi dan bukan merupakan kenaikan tarif organik.
Pemerintah mengklaim, dengan integrasi tarif ini, 61% pengguna ruas tol JORR merasa diuntungkan karena membayar lebih murah. Anehnya, pemerintah juga mempersilakan pengguna tol yang keberatan atas tarif itu untuk menggunakan ruas jalan arteri atau naik kendaraan umum. Inilah titik yang sebenarnya cukup membingungkan. Soalnya, pemerintah seolah tak memberi pilihan alias keputusannya final. Padahal, pertimbangan keputusan itu belum jelas benar. Masih ada yang perlu dijelaskan, terkait kenaikan tarif yang lebih dari 50%.
Banyaknya operator dalam satu ruas tol bukan problem konsumen, tapi problem kebijakan pemerintah. Jika sekarang sebagian konsumen yang harus menanggung akibatnya, itu sama saja pemerintah cuci tangan atas masalah yang dibuat.•
Bagus Marsudi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News