kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tata Kelola Defisit Anggaran


Jumat, 15 Januari 2021 / 06:44 WIB
Tata Kelola Defisit Anggaran
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Dalam pengumuman kinerja Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pada 2020, pemerintah menyampaikan defisit anggaran mencapai Rp 956 triliun. Defisit yang setara 6,09% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ini merupakan yang terbesar bagi Indonesia, setidaknya selama 20 tahun terakhir.

Defisit ini menjadi wajar karena tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2020 pandemi Covid-19 mendorong pemerintah untuk menyalurkan bantuan dalam rangka membantu para kelompok yang terdampak. Di sisi lain, kondisi ekonomi tidak berjalan secara optimal sehingga aktivitas ekonomi tidak bisa mendorong penerimaan negara.

Namun demikian, sama seperti kondisi defisit sebelumnya, meningkatnya defisit anggaran kembali menjadi sorotan banyak pihak. Defisit anggaran yang membengkak dinilai sebagai sesuatu yang buruk terhadap pengelolaan keuangan negara. Tentu pandangan ini tidak sepenuhnya tepat mengingat kebijakan defisit anggaran merupakan salah satu alat kebijakan yang mampu mendorong kinerja perekonomian dalam berbagai periode krisis sebelumnya.

Bahkan lembaga seperti Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang terkenal mempunyai pandangan konservatif mengenai defisit anggaran mengoreksi pandanganya baru-baru ini. Belajar dari pengalaman krisis keuangan 2008, kepala ekonom OECD Laurence Boone menyarankan banyak negara justru lebih ekspansif dalam melakukan kebijakan fiskal. Alih-alih memikirkan defisit anggaran, negara seharusnya memikirkan bagaimana mepertahankan kinerja ekonomi jangka panjang.

Sebelum pandemi Covid-19 terjadi pun, beberapa ekonom mendobrak persepsi buruk mengenai defisit anggaran. Stephanie Kelton profesor ekonomi dan kebijakan publik dari Stony Brook University of New York dalam bukunya The Deficit Myth menyatakan, ketika sebuah negara mengalami defisit anggaran maka aliran likuiditas dari defisit akan dialihkan ke masyarakat secara luas dan akan menjadi sebuah keuntungan untuk masyarakat. Oleh karena itu, untuk menstimulus perekonomian tidak ada ukuran yang kecil dalam defisit anggaran.

Apa yang disampaikan Stephanie, juga diamini oleh Steve Keen, Associate Profesor Ekonomi dan Keuangan dari The University of Western Sydney. Menurut Keen, defisit anggaran dalam tataran teoritis dapat diartikan penciptaan uang di masa mendatang. Hal ini bisa terjadi jika defisit anggaran diperuntukkan untuk mendorong aktivitas ekonomi di masa mendatang.

Berbagai pandangan diatas bermuara pada satu kesimpulan yaitu, defisit anggaran merupakan kebijakan yang dapat digunakan untuk menstimulasi perekonomian. Dan dalam konteks kondisi Indonesia hal ini menjadi sangat relevan mengingat pemerintah tengah berupaya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kembali ke level positif.

Lalu bagaimana dengan dengan kondisi crowding out effect yang seringkali ditakutkan oleh beragam kalangan ketika defisit anggaran melebar. Pada kenyataannya beberapa penelitian tidak mendukung argumen ini. Berdasarkan kajian dari Seok-Hyun Hur, dkk dari Asian Development Bank (ADB) pada 2010 menunjukkan secara empiris belum ditemukan bukti signifikan yang kuat bahwa ekspansi fiskal pemerintah akan mengganggu konsumsi dan investasi yang dilakukan oleh pihak swasta (crowding out) di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia.

Sementara untuk masalah peningkatan utang agar tidak membebani keberlanjutan fiskal pemerintah di masa depan, kebijakan burden sharing yang dilakukan pemerintah dengan otoritas moneter menjadi pilihan yang harus dilakukan.

Selain burden sharing, dukungan otoritas moneter juga bisa dilakukan dalam bentuk suku bunga acuan yang akomodatif. Kebijakan melalui penurunan suku bunga acuan sepanjang 2020, seharusnya masih bisa dilanjutkan di tahun ini dengan proyeksi inflasi dan nilai yang akan berada pada level yang akomodatif.

Persoalan realisasi belanja

Di samping itu, defisit yang membutuhkan pembiayaan yang besar juga bisa dijadikan momentum mendorong porsi investor domestik yang lebih besar pada surat utang pemerintah. Hal ini bisa dilakukan mengingat kondisi likuiditas di dalam negeri yang relatif masih mencukupi. Ini dapat dilihat dari meningkatnya nilai dana pihak ketiga (DPK) di perbankan yang justru mengalami peningkatan sepanjang tahun 2020.

Di sisi lain beragam obligasi ritel pemerintah semakin diminati investor milenial yang mulai tertarik untuk mulai melakukan investasi. Dengan proporsi demografi yang ditopang banyak penduduk muda, tentu pendalaman pasar obligasi pemerintah menjadi sesuatu hal yang bisa dilanjutkan dalam jangka panjang.

Namun demikian, perlu diakui dalam penggunaan instrumen defisit anggaran, efektivitas belanja pemerintah menjadi suatu hal yang sangat penting. Pada tahun lalu, realisasi belanja pemerintah memang mengalami peningkatan. Jika kita menelisik lebih dalam pemerintah masih mempunyai pekerjaan rumah terkait realisasi belanja ini. Dalam realisasi anggaran Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) misalnya realisasinya hanya mencapai 83% sampai akhir Desember 2020.

Kondisi serupa ditemukan di level daerah, sampai dengan November realisasi belanja daerah untuk penanganan Covid-19 dan PEN baik itu kesehatan, jaring pengaman sosial, dan dukungan ekonomi realisasinya rata-rata dibawah 60%. Belum lagi menambahkan masalah ketepatan penyaluran dana bantuan yang harus dihadapkan pada data yang tidak diperbaharui secara berkala. Padahal pemulihan ekonomi nasional juga tidak terlepas dari bagaimana kinerja pemulihan ekonomi di daerah.

Untuk mengantisipasi hal yang sama terjadi kembali, lagi-lagi kolaborasi pemerintah pusat dan daerah menjadi tantangan tersendiri. Kebijakan percepatan penyerahan pengisian Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) perlu dibarengi dengan meningkatkan kapasitas komunikasi dan koordinasi insentif dengan pihak terkait seperti misalnya satuan tugas ataupun aparat eksternal seperti BPKP.

Pada akhirnya, dalam proses pemulihan ekonomi saat ini, bagaimana pemerintah mengeksekusi belanja untuk mendorong perekonomian menjadi isu yang lebih penting dibandingkan diskursus mengenai perbandingan defisit anggaran dengan negara lain. Tentu kita tidak ingin kebijakan pelebaran defisit anggaran tidak memberikan dampak yang optimal dalam mendorong belanja yang berfungsi sebagai alat pemulihan ekonomi.

Penulis : Yusuf Randy Manilef

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×