| Editor: Tri Adi
Selama tiga tahun Jokowi memimpin negeri ini, pola nyaris serupa berulang di setiap semester dua. Belanjanya kencang. Tapi penerimaan negara – terutama dari pajak yang jadi andalan – malah seret di bawah target.
Begitu pula semester II–2017 ini. Dari awal tahun hingga akhir Agustus, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 685,6 triliun atau 53,5% dari target APBN-P 2017 sebesar Rp 1.283,57 triliun. Dan, ada tren buruk: sejak Mei penerimaan pajak terus di bawah target bulanan. Bahkan pada Agustus makin tekor. Dari target Rp 107,5 triliun cuma dapat Rp 81,2 triliun. Dikhawatirkan, shortfall bulanan September semakin parah karena tarikannya juga melemah.
Sudah jelas kondisi ini bila berketerusan dapat membahayakan anggaran negara. Seperti kejadian 2015, defisit fiskal juga tinggi. Dan ujung-nya harus menggali utang lebih dalam buat membiayai pereonomian.
Tahun lalu, anggaran pun terancam jebol. Tapi lalu bisa diselamatkan berkat adanya guyuran dana amnesti pajak. Sedangkan pada semester dua tahun ini, tak ada lagi setoran tax amnesty; karena sudah berakhir pada kuartal pertama lalu.
Kondisinya memang mencemaskan. Tapi tampaknya pemerintah berupaya tampil optimistis. Langkah pemangkasan belanja besar-besaran tidak diambil, lantaran bisa mengerem laju ekonomi yang masih melambat. Justru belanja digenjot agar berefek ganda bagi konsumsi rumahtangga dan investasi, sehingga penerimaan pajak pun meningkat.
Dus, pemerintah harus mengerahkan seluruh sumber daya untuk mendongkrak penerimaan, terutama pajak. Caranya? Nah, itu dia.
Pemerintah berencana menyisir sumber potensi pajak dari kelanjutan data amnesti pajak maupun data lain, seperti Panama Papers, pertukaran data dengan Bea Cukai maupun negara lain. Hanya, pertukaran data otomatis dengan negara lain (AEoI) baru berlaku tahun depan.
Seperti kita tahu, target amnesti pajak semula mencapai Rp 1.000 triliun untuk repatriasi dan Rp 165 triliun berupa tebusan. Namun realisasinya, repatriasi hanya Rp 146 triliun, sedang tebusan Rp 110 triliun. Ke mana selebihnya?
Itulah yang harus diburu, dan kalau dapat harus diganjar dengan tarif progresif ditambah sanksi berat (200%) sesuai dengan ketentuan UU Amnesti Pajak. Tak perlu ada opsi baru lagi yang meringankan, karena malah akan mencederai para wajib pajak yang telanjur taat pajak.
Tapi, untuk itu Ditjen Pajak harus membuktikan keakuratan datanya. Jangan cuma jadi macan kertas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News