| Editor: Tri Adi
Hari-hari belakangan ini, masyarakat kita sedang keranjingan menonton acara TTS, ini singkatan Teka Teki Sulit, bukan Teka-Teki Silang, yang dipandu oleh komedian Lis “Cak Lontong” Hartono dan ditayangkan di salah satu stasiun TV swasta. Bahkan, versi aplikasi tidak resmi (unofficial) dari acara ini selalu berada di 10 permainan yang paling banyak diunduh di Google Play Store.
Kuis ini disebut sulit karena teka-teki yang diberikan Cak Lontong memiliki jawaban yang nyleneh dan di luar kebiasaan. Sebagai contoh, pertanyaan “Sembilan kotak, huruf keempat A: Hayam Wuruk memimpin kerajaan ...” harusnya oleh orang biasa dijawab dengan Majapahit, tapi Cak Lontong justru memberikan jawaban “Zaman dulu.”
Keunikan TTS ini begitu mengena di hati publik hingga acara ini mendapatkan rating lumayan tinggi dan mampu menarik banyak kontestan ternama, seperti Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, hingga presenter Najwa Shihab dan Ira Koesno.
Daya tarik kuis ini di era milenial dan terhadap generasi milenial tampaknya tak bisa dilepaskan dari karakteristik kuis itu sendiri. Jawaban-jawaban yang sekilas ngaco ternyata selalu bisa dijustifikasi oleh Cak Lontong dalam dialog argumentatif dengan kontestan kuis. Pertukaran argumen terjadi dalam suasana penuh canda tawa, tapi tetap menggunakan logika yang saling bertabrakan.
Inilah sesungguhnya bentuk paralogi yang beberapa dasawarsa lalu diutarakan filsuf Jean-Francois Lyotard (Report on Postmodern Condition, 1984). Ketimbang mengutamakan logos (kebenaran) rasional semata yang ingin mencari kebenaran sejati atau konsensus mengenai kebenaran alias kebenaran atau konsensus dengan “K” besar, paralogi justru merangkul banyak logos dan ingin memberikan ruang lapang bagi disensus. Perbedaan dirayakan dalam semangat dialog publik yang menyadari bahwa kebenaran selalu bisa digugat, dipertanyakan, dan disoal sesuai konteks ruang dan waktu.
Paralogi melanjutkan pemikiran Ludwig Wittgenstein tentang language games (Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, 1983) yang meyakini bahwa kebenaran itu tidak tunggal. Sebaliknya, kebenaran tergantung pada bahasa dan aturan bahasa yang digunakan dalam konteks permainan yang sedang digeluti.
Terbuka jadi lebih kreatif
Tugas filsafat menyelidiki permainan bahasa yang beda, menunjukkan aturan yang berlaku di dalamnya, menetapkan logikanya, dan lain sebagainya. Misalnya kuda berjalan ke arah depan dalam konteks pertandingan pacuan kuda, tapi ternyata hanya bisa bergerak membentuk huruf “L” apabila kuda yang dibicarakan dan dihadapi adalah bidak kuda dalam permainan catur.
Semangat memahami permainan inilah yang disebut budaya Dionysian oleh Yasraf Amir Piliang (Hiperrealitas Kebudayaan, LKIS, 1999). Berlawanan dengan dewa Apollo yang serius dan menggambarkan pendewaan manusia modern terhadap nalar, Dioysius adalah dewa yang menghargai kegembiraan dan keriangan bermain. Singkat kata, budaya Dionysian sejatinya menggugat metafisika kehadiran (metaphysics of presence) yang serius dengan bekal nalarnya ingin mencari realitas (nan ada atau being). Teman budaya Dionysian adalah metafisika keseharian Martin Heidegger (F, Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, 2003). Inilah bentuk metafisika yang bergulat dengan upaya mencari ketersingkapan (alatheia) ada dalam waktu yang dihayati layaknya permainan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Generasi milenial yang digempur dengan banyak logos dan realitas dalam kehidupan mereka sehari-hari lewat Internet dan media sosial jelas terbiasa dengan banyak permainan bahasa di pelbagai situs media, ruang chat, dan laman media sosial yang mereka hadapi. Karena itu, terbuka peluang lebar untuk mereka menjadi lebih kreatif.
Hanya saja, mereka harus pula menggunakan ikhtiarnya dalam menghayati aktivitas keseharian mereka secara lebih kritis. Tujuannya adalah supaya mereka bisa berjiwa lebih toleran menyikapi perbedaan, lebih inklusif, dan memiliki jiwa pencarian kebenaran tanpa putus di berbagai situasi berbekal kemampuan mengadakan dialog yang argumentatif ke pada sesama di sekitar lingkungan mereka. Persis seperti yang kita saksikan sehari-hari dalam acara TTS Lontong.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News