kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45915,35   16,58   1.84%
  • EMAS1.325.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Terkait pajak, jangan berburu di kebun binatang


Senin, 16 Oktober 2017 / 16:54 WIB
Terkait pajak, jangan berburu di kebun binatang


Reporter: Lamgiat Siringoringo | Editor: Mesti Sinaga

Ada sejumlah alasan kaum pebisnis menolak peraturan pajak yang baru. Beleid yang bernomor 36 tahun 2017, Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan dinilai bisa mencemaskan minat untuk berbisnis di sini. Penilaian ulang aset juga dianggap mengkhawatirkan.

Pengusaha langsung menuai protes soal keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007. Salah satu yang ditakutkan adalah penilaian ulang dari Direktorat Jenderal Pajak terhadap laporan amnesti pajak.  
 

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)  Suryadi Sasmita mengatakan sebenarnya terjadi perbedaan mindset antara pengusaha dan Ditjen Pajak.

Makanya, ia berharap Ditjen Pajak untuk bisa lebih menjelaskan lebih detail aturan baru itu melalui account representative Ditjen Pajak. Kepada Wartawan KONTAN Lamgiat Siringoringo, Suryadi mengungkapkan apa saja keluhan dari pengusaha. Berikut nukilannya:

KONTAN: Bagaimana Anda melihat polemik PP Nomor 36 tahun 2017?
SURYADI:
Awalnya saya memang cukup kaget dengan informasi yang berkembang. Saya langsung menghubungi beberapa Direktur Pajak yang saya kenal, termasuk Hestu Yoga.

Memang ada pemahaman yang berbeda antara pengusaha dengan Ditjen Pajak. Pengusaha menganggap ada penilaian kembali harta yang sebelumnya sudah dilaporkan dalam amnesti pajak.

Namun DJP sudah menegaskan ketentuan ini tidak berlaku bagi harta yang telah diungkapkan atau dilaporkan dalam Surat Pernyataan (SPH) amnesti pajak. Data dalam SPH di kantor pajak itu tidak akan dinilai ulang berdasarkan penilaian Ditjen Pajak dengan Pasal 5 ayat (2).

Dengan demikian, nilai harta berdasarkan penilaian Ditjen Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, dan lebih lanjut ditegaskan pedoman teknis penilaiannya dalam SE 24/2017 kemarin, tidak berlaku untuk harta yang telah dilaporkan dalam amnesti pajak.

Namun informasi ini memang tidak sampai ke pengusaha. Situasi miskomunikasi antara pengusaha dan DJP, Terjadi perbedaan mindset antara pengusaha dan Pajak.

KONTAN: Bukannya pengusaha khawatir juga kalau petugas pajak akan memakai aturan ini untuk menilai lagi harta yang sudah dilaporkan?
SURYADI:
Kalau yang sudah ikut TA sih harusnya tidak khawatir. Kalaupun ada kesalahan kan bisa dibuat surat keterangan Pembetulan Surat Keterangan (SKet). Namun ya namanya pengusaha memang pasti ada kekhawatiran.

Makanya di sini memang dibutuhkan petugas pajak yang profesional. Ditjen Pajak juga perlu untuk memastikan kalau Account Representative (AR) untuk bisa menjelaskan detail soal aturan ini ke wajib pajak. Ketakutan saya, AR juga tidak bisa menjelaskan. Terjadi miskomunikasi.

KONTAN: Apakah perlu untuk aturan teknis lagi soal PP No 36 ini?
SURYADI:
Yang penting bukan aturan teknis. Tetapi memastikan kalau wajib pajak bisa mengetahui soal aturan ini. Pemerintah harus bisa menjelaskan detail soal aturan ini. Salah satunya lewat AR. Sekarang agak bingung, pemerintah bikin aturan baru sosialisasi. Kalau di luar negeri, sosialisasi dulu baru bikin aturan.

KONTAN: Bukannya aturan pajak kini banyak yang menekan pengusaha?
SURYADI:
Setiap pemerintah mengeluarkan aturan pajak memang pengusaha langsung mawas diri. Dalam PP no 36 ini juga seperti itu, karena informasi banyak beredar setelah aturan itu turun maka banyak yang langsung ketakutan.

Apalagi sekarang bisnis makin sepi, pengusaha langsung takut. Ini menjadi tugas pemerintah untuk tidak mengeluarkan aturan-aturan terutama pajak yang meresahkan.

Seharusnya saat ekonomi seperti saat ini pemerintah mengeluarkan insentif. Apindo kan banyak dari beragam bidang usaha. Seharusnya bisa ada insentif untuk menggerakan ekonomi.

KONTAN: Insentif seperti apa yang diinginkan oleh pengusaha?
SURYADI:
Insentif untuk pajak misalnya pengurangan pembayaran pajak bagi industri yang mempunyai karyawan banyak dan sekarang lagi susah menghadapi perekonomian yang lagi sulit.

Jangan buat aturan pajak yang baru bikin pengusaha khawatir. Seperti aturan sekarang yang lagi disusun Revisi Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

KONTAN: Apa saja masukan soal revisi aturan itu?
SURYADI:
  Sebetulnya KUP yang lama tidak bermasalah namun memang sebaiknya disempurnakan sesuai kemajuan jaman. Namun, draft revisi aturan ini memberatkan wajib pajak.

Misalnya, yang lama kalau kita keberatan kita tidak perlu bayar dulu, kalau yang baru harus bayar dulu, kalau bayar dulu tidak ada kepastian hukum cash flow mati.

Kedua, pasal pidana terlalu banyak, jadi begitu mendengar pidana atas hal kecil seperti salah isi SPT, orang lalu pada takut. Sejauh ini memang banyak pengusaha yang masih kurang baik.

Tetapi dirinya berharap agar pemerintah tidak menggeneralisir semua pengusaha itu bersikap tak semestinya atau bahkan tak menaati aturan pajak.

Faktanya, memang masih banyak pengusaha yang berusaha menaati aturan pajak secara maksimal. Istilahnya janganlah berburu lagi di kebun binatang. Tetapi berburu lah di hutan. Itu banyak binatang yang liar. Kalau yang di dalam kebun binatang kan sudah jinak.

** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 9 Oktober 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Jangan Berburu
di Kebun Binatang"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×