Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Perkara presidential threshold sudah berkali-kali mampir ke meja Hakim Konstitusi. Sepuluh tahun lewat, Fadjroel Rachman sebagai pemohon mengajukan perkara tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tuntutan meminta dibukanya pengajuan calon perseorangan dalam bursa presiden. Permohonan itu membawa implikasi tidak dibutuhkan lagi ambang batas berdasar hasil pemilu legislatif (presidential threshold) untuk pencapresan. Namun MK tidak mengabulkan permohonan Fadjroel Rachman.
Saat itu Mahkamah Konstitusi berpandangan, sesuai dengan batu uji yang diajukan dalam judicial review, presidential threshold adalah open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang dapat diambil oleh pembuat undang-undang. Beberapa permohonan serupa setelah itu juga tidak diterima dan beberapa ditolak.
Hingga kemudian tahun 2013, Effendi Gazali bersama Aliansi Masyarakat Sipil mengajukan perkara yang sama ke MK dengan batu uji yang berbeda. Terhadap perkara tersebut majelis hakim memutuskan pemilu legislatif dan presiden dapat dilakukan serentak tahun 2019.
Menurut Mahfud MD, atas permohonan Effendi Gazali ini, hakim-hakim MK bersepakat cepat memutus karena dua hal. Pertama, permohonan Effendi Gazali menggunakan alasan dan formulasi petitum yang berbeda dengan permohonan sebelumnya. Sebab Effendi dan kawan-kawan meminta pemilu legislatif dan pemilu presiden serentak.
Kedua permohonan ini harus segera diputus agar segera ada kepastian bagi semua stakeholders (pemangku kepentingan). Permohonan-permohonan yang diajukan sebelum Effendi Gazali dan Yusril Ihza Mahendra tidak dikabulkan oleh MK karena alasan konstitusi. Alasan utamanya, MK tidak boleh membatalkan isi Undang-Undang yang tidak disukai banyak orang atau, bahkan mungkin, tidak disukai oleh hakim-hakim MK sendiri kalau isi Undang-Undang itu tidak bertentangan dengan konstitusi (Mahfud MD, 2014).
Tapi tentu saja, konsekuensinya adalah, presidential threshold ke depan menjadi tidak ada artinya lagi. Sebab desain menjadikan hasil pemilu legislatif sebagai basis dukungan bagi parpol peserta pemilu untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden sudah tidak sesuai dipakai dengan sistem penyelenggaraan pemilu yang berbarengan.
Penyelenggaraan pemilu legislatif dengan pemilu presiden yang dipisahkan sebagai pondasi penyangga presidential threshold adalah bentuk pengingkaran terhadap Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945. Presidential threshold jelas telah mengeleminasi kesempatan tiap parpol peserta pemilu yang dijamin pasal tersebut.
Apalagi dalam sistem presidensial yang digunakan dalam sistem pemerintahan Indonesia, lembaga legislatif dan eksekutif sama-sama mendapat mandat langsung rakyat. Maksudnya, setiap wakil rakyat itu dipilih melalui pemilihan umum --agak berbeda dengan sistem parlementer, bahwa parlemenlah yang menentukan pengisi kursi di eksekutif. Berbasiskan pada sistem tersebut, menggunakan hasil pemilihan anggota legislatif sebagai ambang batas guna mengajukan pasangan calon presiden (kekuasaan eksekutif) jelas suatu bentuk penyimpangan sistem.
Tapi masalahnya sekarang, pembentuk undang-undang masih mengakomodasi sistem yang menyimpang itu dalam UU Pemilu No.7/2017. Alasan yang kerap dilontarkan oleh sebagian angota DPR yang bersikukuh dengan konsep ini adalah, (i) Presidential threshold sudah ada sejak pemilu beberapa periode sebelumnya dan dalam masa transisi (2019) sistem itu masih perlu digunakan (Adian Napitupulu, 2018), (ii) presidential threshold adalah open legal policy pembuat undang-undang (Taufik Basari, 2018), presidential threshold telah diamanatkan oleh UUD 1945 dalam pasal 6 Ayat 2 (Rambe Kamarul Zaman, 2018).
Dapat bergerak cepat
Menurut penulis, menanggapi Adian Napitupulu, adanya gugatan baru terhadap UU Pemilu yang mengakomodir presidential threshold tentu tak dapat disamakan dengan gugatan sebelumnya, karena kondisi sekarang telah berbeda. Tak ada pemilu legislatif yang punya jadwal mendahului pemilu presiden sehingga menjadi patokan.
Dan masa transisi telah diberikan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2014, sebab sebenarnya putusan konstitusional pilkada serentak itu telah diputus tahun 2013. Demi mengingat waktu yang begitu singkat saja untuk pemberlakuannya, pemberitahuan yang dekat dengan pemilu legislatif pada April 2014 dikhawatirkan akan mengganggu sistem demokrasi yang bergulir. Silakan lihat berita acara MK, alasan MK menerapkannya untuk tahun 2019 karena alasan transisi itu.
Kedua, yang dipahami sebagai open legal policy adalah merujuk pada pasal 6 Ayat 2 dan 6A Ayat 5 UUD. Pasal 6 Ayat 2 mengamanatkan kepada Undang-Undang mengatur syarat-syarat menjadi presiden dan wakil presiden. Sedangkan 6A Ayat 5 berbicara tentang tata cara pelaksanaan pemilihan. Judicial review terhadap presidential threshold kali ini kabarnya merujuk pasal yang berbeda, 6A Ayat 2, dan dalil-dalil yang juga berbeda. Tentu dengan ini masih terbuka kemungkinan hasil yang tidak sama.
Ketiga, menanggapi Rambe Kamarul Zaman - tidak sedikitpun Pasal 6 Ayat 2 menerangkan presidential threshold. Pengusulan seseorang menjadi presiden atau wakil presiden bukanlah pada cakupan pasal tersebut, tapi pada pasal selanjutnya, yakni pasal 6A.
Konteks pencalonan presiden atau wakil presiden dalam UUD, hanya pada pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Tidak lebih dari itu dan tidak ada sambungan ayat yang memerintahkan hal itu untuk diatur dalam undang-undang.
Semoga MK dapat bergerak cepat dalam memutus judicial review presidential threshold termutakhir --yang diajukan oleh Rocky Gerung dkk (bersama 11 orang lain yang terdiri dari pegiat pemilu, mantan ketua KPK, dan akademisi). Pasalnya, bila MK terlambat mengabulkan (kalau memang nanti dikabulkan) gugatan presidential threshold, maka putusan baru itu akan sulit diberlakukan pada pemilu presiden periode tahun 2019 mendatang.
Sebab deadline pendaftaran Pilpres ditetapkan pada 3 Agustus 2018. Maka apabila putusan judicial review presidential threshold dikeluarkan oleh MK pascatanggal itu, kemungkinan besar hanya akan berlaku tahun 2024. Jadi kunci idealnya (bila memang akan dikabulkan) baik diputus 1 Agustus 2018. Rasanya menenggang masa transisi demokrasi sudah cukup pada 2014 lalu. •
Marlis Kwan
Kolumnis, Alumnus UNSW Sydney, Australia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News