Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Tri Adi
Selain perang dagang, ada tema lain yang menarik perhatian masyarakat, yakni Tik Tok. Sempat diblokir, hanya dalam sehari Tik Tok eksis kembali. Saya mencoba mengunduh aplikasi ini pada Kamis (5/7) kemarin pukul 17.00 WIB dan berhasil. Aplikasi ini memang fenomenal. Tik Tok merupakan bagian dari Bytedance Inc, perusahaan internet raksasa China yang juga jadi induk usaha Musical.ly. Di negara asalnya, Tik Tok dikenal dengan nama Douyin.
Di Indonesia, Tik Tok resmi diluncurkan pada September 2017 dengan sebuah pesta di Jakarta. Aplikasi ini cepat menarik banyak perhatian. Menurut lembaga SensorTower, Tik Tok menjadi aplikasi paling banyak diunduh ketujuh di seluruh dunia sepanjang kuartal pertama 2018.
Tik Tok menyebut dirinya sebagai komunitas video 15 detik yang kreatif. Cara kerjanya sederhana, pengguna tinggal merekam video selama 15 detik dan menghiasinya dengan berbagai musik, filter, atau efek-efek seperti kelinci, gambar hati atau bola. Dan asyiknya, ketika ber-Tik Tok, wajah terlihat lebih bening.
Tik Tok hanyalah satu dari sekian banyak aplikasi berbasis video yang mengisi jaringan generasi keempat (4G) industri telekomunikasi. Semua orang bebas menonton dan berinteraksi. Namun, ada efek lain. Beberapa konten dinilai kebablasan dan melanggar aturan.
Tik Tok sendiri, mengutip situs Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hingga Selasa (3/7) pagi tercatat 2.853 laporan masyarakat melalui aduankonten.id serta sejumlah kanal pengaduan Kementerian Kominfo. Pelanggaran konten yang ditemukan antara lain konten yang mengandung pornografi, asusila dan pelecehan agama.
Tik Tok bukan yang pertama. Sebelumnya aplikasi Bigo dan Telegram juga sempat diblokir. Sama seperti Tik Tok, setelah para petingginya datang ke Kominfo, dalam tempo singkat blokir dicabut.
Mencegah lebih baik dibandingkan mengobati. Ada baiknya pemerintah jangan langsung mencabut blokir. Biarkan blokir itu berlangsung beberapa waktu agar memberikan efek jera. Di sisi lain, pemerintah juga harus semakin konsisten menerapkan alasan pemblokiran. Bikin aturan main tentang hal-hal apa saja yang menyebabkan pemblokiran.
Dunia bisnis memang sedang berevolusi. Muncul bisnis baru yang seperti konten video, musik, gim dan sebagainya.
Di sisi lain, bisnis konvensional juga berevolusi. Industri ritel misalnya, terjun ke bisnis e-commerce agar tetap eksis. Di sektor keuangan, berkembang teknologi finansial (tekfin) dan uang elektronik. Perbankan juga berevolusi dengan peluncuran aplikasi pembukaan rekening. Jadi nasabah cukup membuka aplikasi, download lalu mendaftar menjadi nasabah tanpa perlu ke bank.
Industri telekomunikasi juga bergeser. Bisnis data menjadi andalan, sedangkan bisnis legacy seperti SMS dan voice siap-siap tinggal kenangan. Tiktok, Bigo, Telegram, WhatsApp bisa eksis berkat data internet yang disediakan operator.
Industri telekomunikasi ini juga mengeluarkan produk keuangan, seperti uang elektronik dan tekfin. Mereka berjibaku memasuki belantara bisnis keuangan digital yang semakin ramai. Kita bisa menyebut TCASH Telkomsel harus bertarung dengan Gopay atau Ovo.
Nah, di tengah semaraknya bisnis digital, pemerintah harus menyiapkan aturan main yang jelas. Terlebih bisnis digital keuangan yang menyimpan “data nasabah” tentu memerlukan aturan main yang lebih ketat. Kebobolan satu kasus saja di bisnis ini, kepercayaan masyarakat bisa bubar.•
Ahmad Febrian
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News