Reporter: Mesti Sinaga | Editor: Tri Adi
Ada masalah super-serius di balik neraca perdagangan Indonesia 2018 yang mengalami defisit terbesar sejak berdirinya RI. Defisit US$ 8,566 miliar itu memang disebabkan oleh lonjakan impor dan defisit minyak dan gas (migas) yang menembus US$ 12,4 miliar. Tapi yang lebih menggelisahkan adalah surplus nonmigas yang turun drastis.
Surplus nonmigas yang pada 2017 mencapai US$ 20,41 miliar, anjlok 81,2% menjadi US$ 3,84 pada 2018.Sebetulnya, pada kurun waktu sama, ekspor nonmigas meningkat kok, yakni naik 6,25%. Namun, celakanya, impor nonmigas melonjak jauh lebih tinggi, yakni naik 19,71%.
Bila kita bedah lebih dalam, pada 2018 (Januari - November) lonjakan impor terjadi ada semua golongan barang. Pada golongan barang konsumsi, impor naik 23,96% yoy menjadi US$ 15,82 miliar. Pada golongan bahan baku penolong, impor naik 21,41% yoy menjadi US$ 129,58 miliar. Impor barang modal juga naik 24,83% yoy jadi US$ 27,95 miliar. Data-data ini menunjukkan, kita lebih doyan belanja ketimbang membuat barang dan menjualnya.
Betul, impor bahan baku penolong (yang nilainya terbesar) dipergunakan untuk kegiatan produksi di dalam negeri. Tapi, menyandarkan pemenuhan bahan baku industri dalam negeri pada barang impor membawa banyak mudarat. Salah satunya, manufaktur kita kalah kompetitif. Kita boleh saja mengekspor banyak komoditas mentah ke China dan negara lain, toh produk akhir mereka umumnya lebih kompetitif dibanding produk kita.
Lemahnya industri dasar (industri kimia dasar dan logam dasar) jadi salah satu titik lemah perekonomian kita sejak dulu. Kisahnya klasik: negara dengan sumber daya alam yang kaya, tapi negara lain yang menikmati nilai tambah pengolahan nya. Kita membeli kembali barang yang diolah negara lain itu dengan harga mahal. Seperti kata ekonom Faisal Basri, Indonesia mengalami mising industry. Alhasil sektor manufaktur kita keteteran.
Indonesia butuh segera membangun industri dasar yang terintegrasi dan efisien, agar tersedia bahan baku murah bagi industri dan UKM dalam negeri. Jangan sampai Indonesia, yang kaya sumber daya alam, dengan jumlah penduduk yang banyak, dan angkatan kerja yang begitu besar, malah menjadi pasar yang empuk di era pasar bebas ini.
Maka, siapapun presiden yang akan terpilih pada Pilpres April kelak, sepatutnya menggeber pembangunan industri dasar secara masif, layaknya pembangunan infrastruktur yang lima tahun ini berjalan.•
Mesti Sinaga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News