kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tragedi Republik Tebu


Rabu, 08 Juli 2020 / 10:16 WIB
Tragedi Republik Tebu
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Kita tahu tidak ada kegiatan ekonomi di Indonesia yang lebih advanced daripada industri pergulaan. Jejaknya amat mudah ditemukan. Secara fisik misalnya, pabrik gula (PG) di Jawa yang kini dikelola PT Perkebunan Nusantara IX-XI dan PT Rajawali Nusantara Indonesia adalah bagian sejarah itu. Pabrik gula ini dibangun di era kolonialisme Belanda abad ke-18. Di bidang riset, meski perannya tidak sebesar dulu, masih ada Pusat Penelitian Perkebunan Gula di Pasuruan.

Di masa itu, dengan empat langkah penting, yakni meningkatkan kualitas produk dan produktivitas perusahaan, konsolidasi perusahaan, mendirikan lembaga riset pergulaan, dan peningkatan produktivitas kebun, industri pergulaan di Jawa berubah secara radikal: dari tidak efisien jadi terefisien di dunia hingga mengalahkan industri gula Eropa. Secara ekonomi, industri ini memberikan kemakmuran luar biasa kepada Belanda. Periode 1860-1865, 56,8% pendapatan nasional Belanda ditopang dari industri gula. Pada 1930, dengan produksi 2,2 juta ton, Hindia Belanda jadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba.

Satu abad berlalu, kini Indonesia menjadi negara importir gula terbesar di dunia. Industri gula yang berjaya di masa lalu, terutama di Jawa, kini memasuki fase sunset. Ini menimpa PG BUMN. Saat ini jumlah PG 66 buah, 53 buah di antaranya PG BUMN. Dari 53 buah PG BUMN itu 68% pabrik tua, yakni berumur di atas 90 tahun dan 80% ada di Jawa. Akibat mesin tua, kinerja PG BUMN tak maksimal.

Di masa lalu, lewat penemuan varietas POJ yang produktivitasnya tinggi dan tahan penyakit sereh, Pusat Penelitian Perkebunan Gula jadi solusi krisis gula dunia. Kini, lembaga penelitian itu mati suri karena miskin peneliti dan dana. Produksi gula tak jauh bergerak dari 2,1 juta - 2,4 juta ton per tahun. Sementara konsumsi, baik langsung maupun untuk industri, terus melonjak. Kini industri pergulaan meng-kreasi ritual tahunan ajeg: gonjang-ganjing harga. Pemerintah yang punya otoritas meregulasi seolah tak berdaya.

Penurunan kinerja industri pergulaan ini bukan tiba-tiba, tapi melalui pergulatan ekonomi-politik selama puluhan tahun. Sejarah di atas menunjukkan industri gula merupakan aset ekonomi sekaligus aset sosial maha penting. Industri gula menjadi mata rantai ekonomi yang penting negeri ini. Kini industri gula mengalami kemerosotan luar biasa.

Mimpi swasembada gula

Industri gula mengalami perubahan fundamental sejak Indonesia mengundang kembali IMF untuk jadi dokter penyembuh krisis ekonomi tahun 1998. Atas desakan IMF, pasar domestik yang semula terinsulasi dibuka lebar-lebar. Berbagai subsidi dicabut. Dengan perubahan itu, pasar gula internasional langsung tersambung dengan sentra tanaman tebu di Jawa dan Lampung. Fluktuasi harga gula dunia langsung ditransmisikan ke pasar gula domestik. Sejak itu, pasar domestik kebanjiran gula impor (legal dan ilegal) murah karena dumping dan berbagai subsidi.

Benteng pertahanan petani tebu dan PG ambrol diterjang gula impor. Tak kurang 9 PG tutup. Banyak pula petani beralih usaha tani lain. Saat itu, harga pokok produksi (HPP) gula kita tergolong tinggi. Tahun 2002 rata-rata HPP Rp 3.200/kg, sementara harga gula impor cuma Rp2.650/kg. Pemerintah yang diharapkan bisa menolong petani tak bisa berbuat banyak karena kaki dan tangannya dirantai IMF. Akhirnya, petani tebu menempuh cara berjuang sendiri. Mereka semula nerimo, rentang 1999-2002 jadi garang dan kerap demo.

Dalam suasana seperti itulah Menperindag saat itu, Rini Soewandi, menerbitkan SK No. 643/2002 tentang Tata Niaga Impor Gula, yang dalam perjalannya diubah jadi SK No. 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula (KIG). Ada tiga tujuan yang diusung beleid ini: mencapai swasembada gula, meningkatkan daya saing dan mendongkrak pendapatan petani. Inti KIG adalah membatasi jumlah importir, mengatur pemasukan gula impor (waktu, jumlah dan tujuan), dan kewajiban menyangga harga gula petani.

Impor raw sugar hanya bisa dilakukan Importir Produsen (IP), sementara impor white sugar hanya oleh Importir Terdaftar (IT) yang 75% bahan bakunya berasal dari tebu petani. IT diwajibkan memberikan dana talangan (baca: membeli) gula petani sebagai bentuk perlindungan. Syarat IT, selain berpengalaman dalam bidang impor juga harus memiliki dana dan jaringan distribusi. Lewat KIG, jumlah importir yang semula mencapai 800-an kini tinggal 4-5 buah, harga gula yang fluktuatif jadi lebih stabil, impor relatif terkendali karena lebih mudah diawasi, dan pendapatan petani lebih terjamin.

Hasil enam tahun (2002-2008) implementasi KIG, pertama, kenaikan produksi gula 1,2 juta ton (dari 1,6 juta ton tahun 2002 jadi 2,8 ton pada 2008), sehingga saat itu kembali bisa swasembada gula konsumsi; kedua, harga gula kita kian kompetitif; ketiga, meningkatnya pendapatan petani, sehingga mereka lebih bergairah menanam tebu. Ini ditandai oleh penambahan areal dan penggantian ratoon dengan bibit baru. Penambahan produksi 1,2 juta ton itu setara dengan investasi enam PG baru dengan kapasitas 150.000 ton-200.000 ton tebu per tahun. Nilai investasi satu PG kira-kira Rp 1,2 triliun. Satu PG menyerap 900 tenaga kerja langsung dan 15.000 orang tenaga kerja tidak langsung.

Rupanya, produksi yang tumbuh dan petani tebu yang bergairah itu tak berlanjut. Banyaknya kepentingan politik di industri pergulaan membuat kebijakan berbalik arah. Swasembada yang ditargetkan tercapai 2009 diundur jadi tahun 2014. Kini, tanda-tanda swasembada justru makin jauh dari tercapai. Dari tahun ke tahun ada kecenderungan konsisten yang menandai kian memudarnya insentif ekonomi yang membuat petani tak tertarik lagi menanam tebu, yang ujung-ujungnya membuat swasembada bagai utopia.

Pertama, terjadi transfer marjin keuntungan dari petani ke pelaku distribusi dan pedagang. Pada 2006, marjin distribusi dan pedagang hanya 10,13%. Petani menikmati marjin hampir 90%. Pada 2017, marjin distribusi dan pedagang mencapai 37%. Artinya, marjin petani hanya 63%. Terjadi penurunan luar biasa besar.

Kedua, petani mengalihkan usahatani dari tanaman tebu ke tanaman lain. Pada 2010, luas tanam tebu mencapai 454.111 hektare. Pada 2018, luas tanam menurun jadi 417.57 hektare. Sebagai makhluk ekonomi yang rasional, respons ini wajar adanya. Jika ini berlanjut, Indonesia harus membuang jauh-jauh target swasembada gula. Inilah tragedi besar di Republik tebu.

Penulis : Khudori

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×