kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.755   0,00   0,00%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Turangga


Rabu, 27 Maret 2019 / 13:59 WIB
Turangga


Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Tri Adi

Ratangga itu kini melengkapi moda transportasi umum di ibu kota. Proses uji coba moda rata terpadu atau MRT itu akan berakhir di ujung minggu ini. Tarif hingga kini masih dalam proses diskusi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD. Tapi, kesepakatan awal tarif Ratangga di kisaran Rp 8.500 -Rp 10.000 per 10 km.

Bukan tarif flat seperti moda transportasi lain seperti Transjakarta dan commuter, tapi tarif Ratangga akan dihitung berdasarkan jarak tempuh penumpang. Semakin jauh penumpang bepergian, kian besar yang harus dirogoh dari kocek. Pemerintah DKI berjanji, tarif resmi Ratangga secara detail akan diumumkan jelang MRT beroperasi 1 April 2019.

Yang pasti, kehadiran Ratangga sudah menyedot perhatian publik. Berbondong-bondong orang Jakarta mencoba moda transportasi ini. Selain jadi moda kekinian, Ratangga juga jadi jawaban keinginan banyak pihak memiliki moda transportasi modern laiknya yang dimiliki oleh negara-negara maju.

Jika menilik sejarah, impian memiliki Ratangga membutuhkan waktu nan panjang, sampai puluhan tahun. Pasalnya, inisiasi membetangkan moda transportasi ini sudah ada sejak 1995. Tak pelak, saat peresmian oleh Presiden Joko Widodo 24 Maret lalu, sorak sorai langsung membahana.

Menjadi proyek yang membanggakan, peresmian moda transportasi ini juga mendulang komentar nyinyir. Apalagi, peresmian dilakukan sehari sebelum masa kampanye terbuka. Banyak menilai ini sebagai aksi kampanye jelang Pemilu 2019, 17 April 2019. Pun dengan penetapan tarif, juga dianggap jadi ajang kampanye jelang pesta demokrasi.

Namun, apapun itu, Ratangga harus mampu mengubah perilaku masyarakat ibukota, dari bepergian dengan menggunakan kendaraan pribadi beralih ke MRT yang lebih cepat, memenuhi unsur kenyamanan serta keselamatan.

Kemacetan ibukota tak hanya berdampak pada kesehatan sebagai akibat pencemaran lingkungan tapi juga menimbulkan potensi kerugian misal, dari waktu, hingga penggunaan bahan bakar. Studi menyebut, potensi kerugian akibat kemacetan ibukota bisa mencapai Rp 68,2 triliun per tahun. Yakni untuk biaya kesehatan sebesar Rp 38,5 triliun, serta energi Rp 29,7 triliun.

Bentangan MRT 16 kilometer memang belum bisa memangkas potensi kerugian itu. Namun, kehadiran Turangga sedikitnya akan mengubah peradapan warga ibukota, beralih ke transportasi umum.♦

Titis Nurdiana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×