Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Nota Kesepahaman pemerintah RI dengan Kerajaan Saudi Arabia (KSA) yang salah satunya terkait dengan umrah digital dengan menggandeng dua unicorn besar yakni Traveloka dan Tokopedia berujung polemik di Tanah Air. Pengusaha penyelenggara perjalanan umrah protes atas rencana tersebut. Kekhawatiran bisnis umrah digital ini bakal menggerus agen perjalanan umrah konvensional mencuat.
Situasi semacam ini seperti mengulang saat awal munculnya transportasi berbasis dalam jaringan (daring) beberapa tahun lalu. Tak sedikit kekisruhan berujung pada kekerasan fisik antar pengemudi moda transportasi tersebut. Meski saat ini pemerintah telah menyiapkan berbagai regulasi, namun riak-riak kecil masih saja muncul terkait pengaturan moda transportasi berbasis daring tersebut.
Fenomena gangguan (disrupsi) terhadap bisnis umrah ini bisa saja tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh para pelaku bisnis ini. Hal ini setidaknya terkonfirmasi dari reaksi yang muncul belakangan dari para pelaku bisnis umrah protes atas rencana fasilitasi pemerintah terhadap dua unicorn Tokopedia dan Traveloka. Penolakan atas rencana tersebut lantang disuarakan.
Dalam konteks ini, perubahan yang terjadi di berbagai platform bisnis di era digital ini merupakan sebuah keniscayaan. Sebagaimana disebutkan Klaus Schwab (2016) bahwa teknologi dan digitalisasi akan memicu perubahan penting di seluruh dunia. Saat ini, perubahan itu turut menyasar dalam pola bisnis umrah yang dilakukan oleh pemain lama, pelaku agen perjalanan umrah di Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah memberi porsi penting dalam pengembangan bisnis digital. Keberpihakan pemerintah terhadap bisnis berbasis digital dapat dimaklumi lantaran dari bisnis ini banyak efek turunan yang muncul bagi perekonomian di Indonesia.
Namun, bukan tanpa kritik sikap pemerintah yang memberi ruang atas keberadaan bisnis berbasis digital dan teknologi ini, posisi pemerintah sebagai regulator sekaligus legislator, kerap mengabaikan hal mendasar terkait ketersediaan regulasi maupun legislasi. Imbasnya, benturan dan disharmoni antara pemain lama dan pemain baru sulit dihindari.
Padahal, pemerintah semestinya berdiri tegak di tengah untuk mengharmonisasi berbagai kepentingan stakeholder sembari melakukan pendampingan terhadap pemain lama agar mengikuti ritme perubahan yang memang sebuah keniscayaan ini.
Polemik rencana fasilitasi pemerintah dalam bisnis umrah terhadap dua unicorn ini menimbulkan protes dari para agen perjalanan umrah. Ini karena terjadinya kesenjangan informasi yang dilakukan pemerintah terhadap para pemangku kepentingan. Satu sisi pemerintah tampak memberi ruang kepada pemain baru yang berbasiskan digital, di sisi yang lain pemerintah tidak mempertimbangkan dampak yang bakal dirasakan oleh pemain lama.
Belajar dari ojol dan tekfin
Dalam konteks rencana fasilitasi pemerintah dalam bisnis umrah berbasis digital terhadap dua unicorn ini memang masih belum jelas model bisnis yang dimaksud. Pernyataan di sejumlah media, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memastikan bisnis umrah berbasis digital ini dipastikan tidak mengganggu pemain lama.
Pemerintan juga memastikan umrah digital ini bukanlah penyedia layanan penyelenggara umrah, layaknya penyedia jasa layanan umrah yang selama ini berada di tengah-tengah publik. Namun, kejelasan soal fasilitasi dua unicorn tersebut masih sumir. Kemkominfo sebagai pihak yang punya wewenang terkait persoalan ini maupun Kementerian Agama (Kemnag) sebagai regulator di bidang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah belum secara terang menjelaskan posisi Traveloka dan Tokopedia ini.
Jika merujuk Undang-Undang (UU) No. 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, mengenai penyelenggara ibadah umroh telah ditegaskan yakni mereka yang tercatat sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Di pasal 86 ayat (4) UU 8/2019 disebutkan selain PPIU sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah, pemerintah juga dapat menjadi sebagai penyelenggara ibadah umrah. Namun tidak dalam kondisi normal, pemerintah bisa turut serta menyelenggarakan ibadah umrah, melainkan dalam kondisi darurat.
Ketentuan inilah yang menjadi kunci soal bisa tidaknya dua unicorn itu terlibat dalam penyelenggaraan perjalanan ibadah umroh. Padahal dalam Ketentuan Umum di Pasal huruf 3 UU 8/2019 definisi penyelenggara perjalanan ibadah haji dan umrah merupakan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi dan pelaporan ibadah haji dan umrah. Dengan kata lain, penyelenggara ibadah haji dan umrah terkait aktivitas dari hulu hingga hilir.
Belajar dari sejumlah peristiwa sebelumnya yang berdampak efek digital dan teknologi, sebaiknya pemerintah menjelaskan secara detil dan konkret atas rencana fasilitasi dua perusahaan besar ini dalam bisnis umrah digital. Pemerintah juga harus taat pada aturan main yang telah tersedia.
Fenomena disrupsi di sektor kehidupan publik sejatinya dapat diprediksi (predictable) oleh pembuat undang-undang (law maker). Karena memang, disrupsi ibarat koin mata uang dengan digital dan teknologi.
Karena kondisinya bisa terprediksi, pembuat undang-undang atau regulator semestinya telah merumuskan rencana kerja khususnya di bidang legislasi dan regulasi terkait persoalan tersebut. Namun, dalam beberapa kali peristiwa, pemerintah dan DPR tampak gagap merumuskan aturan dalam menghadapi dampak turunan dari keberadaan digital dan teknologi ini.
Seperti yang terjadi di transportasi berbasis daring, pemerintah membuat aturan di kemudian hari setelah layanan yang mengandalkan digital itu booming di tengah masyarakat. Akibatnya, disharmoni terjadi di pemangku kepentingan dua jenis moda transportasi tersebut.
Begitu pula dalam aturan teknologi finansial (tekfin). Kendati dari sisi kuantitas mengalami perkembangan yang pesat, namun dampak negatif dari keberadaan tekfin ini tampak tak bisa dikelola dengan baik oleh regulator. Tekfin yang khitahnya sebagai media inklusi keuangan bagi publik, justru berubah wajah menjadi renternir daring yang menyeramkan. Ancaman pencurian data pribadi hingga demoralisasi terhadap kreditur yang telat mencicil menjadi sebagian kisah yang memilukan.
Sejumlah cerita tidak baik dari keberadaan layanan digital di sejumlah sektor tersebut tak lain disebabkan keberadaan regulasi yang gagap dalam menangkap perubahan masyarakat. Padahal, sejatinya regulasi yang dalam titik ini sebagai produk hukum, dalam catatan Roscoe Pound (1940), sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial. Namun dalam sejumlah kasus, hukum justru tak mampu mengiringi perubahan tersebut. Sebaliknya, di titik ekstrem digital dan teknologi merusak tatanan hukum.♦
Ferdian Andi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News