Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Menjelang akhir tahun, isu yang selalu menyulut perdebatan dan menjadi wacana krusial bagi kaum buruh dan pengusaha adalah soal penentuan besaran upah minimum untuk tahun depan. Setiap tahun sudah lazim terjadi kaum buruh selalu berharap usulan kenaikan upah minimum dapat diakomodasi pemerintah sesuai dengan kenaikan kebutuhan hidup sehari-hari.
Kalau berbicara usulan, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sebetulnya menuntut agar upah minimum pada 2021 naik sebesar 8%. Tetapi, pemerintah tampaknya memiliki pertimbangan lain. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, telah memastikan bahwa di tahun 2021 tidak ada kenaikan upah minimum, baik upah minimum provinsi ( UMP) maupun upah minimum kabupaten/kota (UMK).
Dalam Surat Edaran Nomor M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), pemerintah memutuskan tidak menaikkan upah minimum buruh dengan alasan karena kondisi ekonomi Indonesia saat ini dalam masa pemulihan. Menurut kalkulasi pemerintah, kenaikan upah tahun 2021 justru akan memberatkan kelangsungan dunia usaha. Jika besar upah minimum disetujui naik, dikhawatirkan dunia usaha justru akan terganggu, bahkan bukan tidak mungkin terancam kolaps.
Keputusan pemerintah tidak menaikkan upah minimum dilakukan sudah barang tentu telah mengkalkulasi dampaknya terhadap kondisi perekonomian dan kepentingan kaum buruh. Sejak pandemi Covid-19 meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan dan aktivitas perekonomian masyarakat, tidak sedikit pelaku usaha nasional telah gulung tikar dan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam skala besar.
Untuk mendorong kembali agar pelaku usaha di tanah air mendapatkan kesempatan merevitalisasi kembali usahanya, salah satu instrumen kebijakan yang bisa dikembangkan pemerintah adalah melalui keputusan tidak menaikkan upah minimum buruh. Para pengusaha yang selama pandemi Covid-19 telah terbebani karena pangsa pasar yang turun drastis, memang berat jika mereka harus menanggung beban kenaikan upah minimum buruh 2021.
Dengan menunda kenaikan besar upah minimum, pemerintah berharap ruang gerak dan nafas para pengusaha bisa lebih leluasa. Masalahnya sekarang, bagaimana dengan nasib kaum buruh yang upahnya tidak naik pada tahun 2021?
Sepanjang harga barang kebutuhan hidup sehari-hari tidak ikut naik dan masih dalam jangkauan kondisi keuangan buruh, barangkali tidak masalah seberapa pun upah buruh ditetapkan. Namun demikian, lain soal jika upah minimum diputuskan tidak naik, sementara harga kebutuhan hidup sehari-hari justru naik.
Adapun secara garis besar, dampak yang terjadi jika upah minimum buruh tidak naik di tahun depan adalah: Pertama, bila upah minimum tahun depan diputuskan tidak naik, maka bisa dipastikan daya beli masyarakat akan semakin turun. Akibat tidak lagi memiliki tabungan dan penghasilan yang rutin dan memadai, maka bisa dipastikan daya beli masyarakat akan turun hingga berakibat pada anjloknya tingkat konsumsi masyarakat.
Kedua, keputusan pemerintah tidak menaikkan upah minimum buruh bukan tidak mungkin menjadi preseden buruk bagi kepentingan dan posisi tawar (bargaining position) kaum buruh. Berbeda dengan pengalaman selama situasi krisis ekonomi di mana upah buruh tetap naik meski kondisi perekonomian sedang lesu--, saat ini pemerintah lebih memilih untuk memfasilitasi kalangan pengusaha yang tengah lesu karena didera pandemi Covid-19.
Ke depan, dengan alasan kondisi perekonomian belum sepenuhnya pulih, maka jangan-jangan pada tahun-tahun berikutnya pun upah minimum buruh tetap sama. Kekhawatiran seperti ini sangat mungkin berkecamuk di benak kaum buruh.
Ketiga, berkaitan dengan posisi kaum buruh dalam konteks kelangsungan dunia usaha. Keputusan menetapkan upah minimum buruh tetap di tahun 2021 nanti, itu berarti buruh masih ditempatkan sebagai beban perusahaan dan menjadi bagian dari pos pengeluaran perusahaan, bukan investasi atau aset yang berharga. Cara pandang buruh sebagai beban perusahaan inilah yang sampai kapan pun usulan kenaikan upah buruh sulit dipenuhi.
Sense of belonging
Saat ini, pemerintah sesungguhnya berada pada posisi yang dilematis. Di satu sisi jika pemerintah memutuskan untuk mengakomodasi kepentingan pengusaha dan memutuskan tidak menaikkan upah minimum, niscaya akan muncul resistensi dari kaum buruh yang sulit diduga kapan bakal berakhir. Di sisi lain, jika pemerintah menerima tuntutan kaum buruh dan menaikkan upah minimum, maka jangan-jangan kelangsungan usaha di tanah air akan terancam kolaps.
Memang, kalau menggunakan rumusan UMP dan UMK menurut PP Nomor 78 Tahun 2015, kalkulasi matematis upah minimum buruh tidak ada kenaikan alias nol persen. Artinya, dalam regulasi perhitungan kenaikan upah minimum yang didasarkan pada upah minimum tahun berjalan dikalikan dengan inflasi plus pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan minus, maka peluang kaum buruh mendapatkan kenaikan upah minimum jelas sangat kecil.
Tetapi, pertanyaan kemudian jika upah minimum benar tidak jadi naik di tahun depan, apakah hal itu bukan tanpa risiko? Pertanyaan ini perlu dikaji lebih mendalam, karena ketika kaum buruh merasa diperlakukan tidak adil, maka bukan tidak mungkin sense of belonging buruh pada perusahaan akan memudar, sehingga ujung-ujungnya malah akan kontra-produktif.
Bagi perusahaan, keputusan pemerintah tidak menaikkan upah minimum mungkin dalam jangka pendek terasa melegakan. Hanya saja, dalam jangka panjang, keputusan tidak menaikkan upah minimum bukan tidak mungkin akan melahirkan berbagai masalah baru bagi kegiatan produksi dan kelangsungan perusahaan.
Banyak kajian membuktikan bahwa masyarakat miskin, termasuk di dalamnya kaum buruh sebetulnya memiliki mekanisme tersendiri, yang kerapkali terselubung untuk memperlihatkan resistensinya. Akibat ketidakberdayaan dan kerentanannya, bisa saja kaum buruh akan menerima nasib bahwa upah mereka tidak naik tahun depan. Namun demikian, karena merasa nasibnya tidak diperhatikan dan merasa pemerintah tidak berempati pada nasib kaum buruh, jangan heran jika kinerja mereka di perusahaan tidak lagi seperti sebelumnya.
Menghomogenisasi bahwa semua perusahaan sedang bermasalah di masa pandemi Covid-19, seungguhnya adalah cara pandang yang kurang adil. Bagi kaum buruh, kebijakan kenaikan upah seharusnya dilakukan secara proporsional.
Bagi perusahaan yang masih mampu seyogianya mereka tetap harus menaikkan upah minimum buruh. Hanya dengan bersikap objektif dan adil, maka gejolak kaum buruh menolak keputusan soal upah minimum akan dapat diredam.
Penulis : Bagong Suyanto
Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News