Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Siapa yang tidak tahu film Crazy Rich Asians? Film drama berlatar Singapura ini terbilang sukses mencuri perhatian jutaan penikmat film bioskop Tanah Air. Menariknya, ada satu fenomena unik pasca demam film ini melanda. Konon generasi milenial berkantong tebal berbondong-bondong berlibur ke Negeri Singa hanya untuk mencitrakan diri mereka sebagai bagian dari kelompok crazy rich (kaya raya).
Harus diakui, Singapura telah menjelma menjadi salah satu destinasi wisata favorit turis kelas menengah atas asal Indonesia. Di tengah problematika defisit transaksi berjalan, pemerintah tentu berharap turis domestik lebih memilih destinasi wisata dalam negeri. Di sisi lain, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia harus dipacu sebanyak mungkin.
Hingga Agustus 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis total kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 10,58 juta. Dalam beberapa tahun terakhir, kunjungan wisman ke Indonesia didominasi oleh pelancong asal Tiongkok, Singapura, Malaysia dan Timor Leste. Kolaborasi keempat negara tersebut menyumbang sekitar 40% dari total kunjungan wisman. Dengan tren pertumbuhan yang konsisten dua digit setiap tahun, pemerintah menargetkan total kunjungan wisman sebanyak 17 juta pada tahun 2018 dan 20 juta pada tahun 2019.
Selain jumlah kunjungan, tantangan lain yang dihadapi pemerintah ialah meningkatkan nominal belanja dan memperpanjang waktu tinggal wisman. Fakta menunjukkan banyaknya kunjungan wisman ke suatu destinasi wisata belum tentu berpengaruh signifikan terhadap roda ekonomi masyarakat lokal. Hal ini disinyalir karena wisman yang datang tergolong turis berdaya beli rendah.
Kementerian Pariwisata mencatat rata-rata belanja wisman sekali kunjungan sebesar US$ 1.100 per orang. Jumlah kunjungan wisman negara barat memang tidak sebanyak negara Asia. Namun secara ekonomi, total belanja wisman Eropa dan Amerika mampu mencapai US$ 2.500 per orang. Kondisi ini sejalan dengan kajian Bank Indonesia. Wisman asal Amerika Serikat merupakan turis dengan pengeluaran harian tertinggi sebesar US$ 188,1. Sedangkan wisman asal Singapura menduduki peringkat terendah dengan pengeluaran harian sebesar US$ 90,82.
Melihat komposisi wisman yang masih didominasi turis Asia, praktis pekerjaan rumah pemerintah ke depan menggaet kunjungan crazy rich tourist asing dalam jumlah masif ke Indonesia.
Peluang sport tourism
Ajang sport tourism hadir sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut. Secara harafiah, sport tourism dapat diartikan sebagai kegiatan wisata yang dipadukan dengan kegiatan olahraga. Studi Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) tahun 2015 menunjukkan pertumbuhan sport tourism di Indonesia mencapai 6% per tahun. Selain itu, sektor tersebut mengambil porsi 25% dari total penerimaan industri perjalanan dan pariwisata.
Menteri Pariwisata, Arief Yahya menyebutkan sport tourism efektif dalam mempromosikan pariwisata karena memiliki media value yang tinggi. Media value yang didapat minimal dua kali lipat dari direct impact turis yang datang. Hal ini didukung publikasi media nasional dan internasional sebelum, sesaat dan sesudah acara.
Sebut saja event Moto GP. Apabila lomba balap motor tersebut kelak diadakan di Indonesia, potensi keuntungan yang diperoleh mencapai Rp 1 triliun dengan modal penyelenggaraan Rp 130 miliar. Di samping itu, acara tersebut juga diyakini mampu mengundang 100.000 wisatawan. Bahkan dampak tak langsung bisa mencapai dua kali lipat. Pasalnya Moto GP disiarkan melalui 60 stasiun televisi ke 200 negara.
Keberhasilan Indonesia sebagai penyelenggara Asian Games 2018 merupakan contoh kisah sukses sport tourism. Kementerian Pariwisata memproyeksikan devisa dari hajatan tersebut sekitar Rp 3 triliun atau senilai US$ 230 juta. Hitungannya dari asumsi 150.000 penonton, rata-rata pengeluaran per orang sebesar US$ 1.200. Nilai ini ditambah dengan devisa dari official sebanyak 20.000 orang dikali rata-rata belanja US$ 2.500 per orang.
Di tingkat daerah, sebenarnya telah banyak ajang sport tourism internasional yang diselenggarakan. Sebut saja Tour de Singkarak, Tour de Ijen, Jakarta Marathon, Bali Marathon, Bintan Triathlon dan Golf Indonesia Master. Bahkan, Union Cycliste Internationale mencatat Tour de Singkarak menduduki peringkat kelima dunia lomba balap sepeda internasional jumlah penonton terbanyak.
Berkaca pada pengalaman tersebut, praktis proposal program jangka pendek menengah ialah mendorong geliat ajang sport tourism di seluruh daerah, terutama di sepuluh destinasi wisata Bali Baru. Usulan pemilihan sepuluh lokasi tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari agenda utama kebijakan Pemerintah. Untuk menggenjot kunjungan wisman khususnya crazy rich tourist, pemerintah berkomitmen membangun infrastruktur dan konektivitas menuju sepuluh destinasi tersebut. Kucuran anggaran triliunan pun telah siap dialokasikan.
Pada titik inilah isu keterbatasan anggaran pemda sudah tidak lagi relevan. Persoalan utamanya justru berkutat soal kreativitas penyelenggaraan acara. Pemda dituntut mampu meracik strategi yang tepat dalam mempromosikan sport tourism di daerah.
Prospek industri pariwisata berbasis MICE (meeting, incentive, conference, exhibition) juga tidak boleh dilupakan. Mengutip data International Congress & Convention Association (ICCA), rata-rata waktu menginap wisman MICE di Indonesia selama lima malam dengan pengeluaran lebih dari US$ 200 per orang per hari. Nilai ini lebih tinggi tujuh kali lipat dibandingkan turis biasa.
Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018 di Nusa Dua Bali menjadi bukti nyata kapabilitas Indonesia sebagai tuan rumah MICE bertaraf global. Potensi devisa yang bisa diraup juga terhitung fantastis. Dengan taksiran total delegasi asing sebanyak 18.000 orang, potensi devisa yang didatangkan sekitar US$ 43,2 juta.
Selama beberapa kurun tahun terakhir, Indonesia telah sukses menjadi tuan rumah beberapa event MICE skala dunia. Sebut saja ASEAN Summit (2011), ASEAN Tourism Forum (2012), APEC Summit (2013), World Economic Forum (2015) dan World Islamic Economic Forum (2016).
Pada 2014 ICCA menempatkan pariwisata MICE Indonesia pada peringkat ke-12 se-Asia Pasifik dengan 76 pertemuan. Tahun 2020 ditargetkan peringkat Indonesia beranjak menuju lima besar dengan jumlah pertemuan sebanyak 150. Selain itu, pemerintah juga akan mendongkrak wisman MICE dari 5% menjadi 10%. Dengan frekuensi pertemuan yang semakin banyak, pundi-pundi devisa yang diperoleh juga semakin tebal.
Dalam konteks tren leisure economy, sekedar menjual keindahan alam saja tidak cukup. Paradigma konsumen telah berubah dari product based menjadi experience based. Diperlukan lebih banyak event menarik agar para crazy rich tourist rela merogoh koceknya lebih dalam. Sport tourism dan pariwisata MICE memungkinkan hal itu terjadi.•
Remon Samora
Analis Bank Indonesia Provinsi Papua
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News