| Editor: Tri Adi
Pengenaan pajak sudah barang tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu dan bukan semata-mata untuk membangun negara semata saja. Berdasarkan Organization Economic Cooperation and Development (OECD), pajak dapat dikenakan terhadap barang serta jasa tertentu. Nah, di Indonesia pajak jenis tersebut dikenal dengan sebutan cukai.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39/2007 tentang Cukai, pengenaan cukai harus memenuhi sifat dan karakteristik. Seperti untuk membatasi konsumsi dari barang tersebut, mengawasi penyaluran dari barang yang bersangkutan. Atau barang konsumsi tersebut bisa merusak lingkungan hidup. Tapi bisa juga pengenaan cukai tersebut sebagai bentuk memenuhi rasa kebersamaan dan keadilan di masyarakat.
Di Indonesia sendiri, pemberlakukan cukai tersebut cuma diterapkan untuk tiga kategori barang saja. Yaitu hasil tembakau (terutama rokok), etil alkohol, dan minuman yang mengandung etil alkohol. Sementara, negara-negara lain di dunia telah berhasil mengenakan cukai atas komoditi yang lebih beragam.
Sejatinya wacana untuk mendorong pemerintah melakukan ekstensifikasi cukai sudah lama berlangsung. Salah satu ekstensifikasi yang mendesak adalah pengenaan cukai bagi minuman berpemanis atau dikenal dengan sugar-sweetened beverages. Minuman berpemanis biasanya memiliki komposisi dasar air sebesar 90% dan sisanya terdiri dari bahan tambahan seperti zat pewarna, zat pemanis, gas CO2 dan atau zat pengawet.
Belajar dari Meksiko
Alasan utama pengenaan cukai atas minuman berpemanis tersebut adalah untuk pembatasan konsumsi dengan tujuan akhir untuk meningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Berbagai penelitian dan jurnal kesehatan menyebutkan bahwa terdapat bukti ilmiah yang cukup bahwa pengurangan konsumsi atas minuman berpemanis akan mengurangi prevalensi obesitas dan penyakit-penyakit terkait obesitas.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan agar obesitas dan diabetes menjadi isu dan fokus pemerintah. Selain itu lembaga ini merekomendasikan perlu membuat kebijakan fiskal akibat pola konsumsi yang dapat berpengaruh terhadap non communicable diseases (NCDs).
Di Indonesia sendiri, data BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa biaya kesehatan yang ditanggung pemerintah sehubungan dengan penyakit kencing manis dan gangguan metabolisme termasuk diabetes terus mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi minuman yang mengandung pemanis terhadap kenaikan berat badan dan obesitas serta risiko gangguan metabolik dan diabetes tipe dua.
Sementara itu, konsumsi minuman ringan terus mengalami tren kenaikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa konsumsi minuman berpemanis dalam 20 tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam jangka waktu tersebut konsumsi tumbuh dari 50 juta liter menjadi 780 juta liter.
Konsumen kelas menengah ke atas juga mengubah pola konsumsinya, dari pemenuhan kebutuhan menjadi penawaran kenikmatan yang jauh lebih besar. Diperkirakan masyarakat membelanjakan 1,8%-2% dari total belanja sebulan untuk membeli minuman, dan tentunya yang berpemanis.
Riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi obesitas di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Lantaran minuman berpemanis memiliki eksternalitas negatif yang dapat berimbas pada timbulnya biaya sosial berupa biaya jaminan kesehatan yang harus ditanggung oleh pemerintah. Maka pemerintah dapat melakukan intervensi atas konsumsi minuman berpemanis.
Salah satu negara yang telah menerapkan cukai atau pajak atas minuman berpemanis dan berhasil dalam mengurangi tingkat konsumsi atas minuman berpemanis adalah Meksiko. Pemerintah Meksiko mengenakan cukai terhadap minuman berpemanis sehubungan dengan tingginya prevalensi obesitas.
Minuman berpemanis sendiri dianggap sebagai penyebab utama kenaikan berat badan dan obesitas di Meksiko dengan kontribusi tambahan gula dalam pola makan mencapai 70%. Kebijakan pengenaan cukai atas minuman berpemanis tersebut dapat dibilang berhasil karena dapat menurunkan konsumsi atas minuman berpemanis sampai dengan 12% per kapita per hari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News