| Editor: Tri Adi
Belum lama ini, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat kemunculan siklon tropis baru di barat daya Bengkulu. Siklon yang diberi nama Dahlia ini dapat menimbulkan dampak cuaca ekstrem di beberapa wilayah. Meski menjauhi Indonesia, siklon tropis Dahlia telah memberi kekhawatiran dan dampak buruk cuaca ekstrem yang menyebabkan banjir, longsor, gelombang tinggi air laut dan puting beliung.
Dampak bencana jelas membawa pengaruh negatif bagi proses pembangunan. Bank Dunia pada akhir 2016 merilis laporan berjudul, "Unbreakable: Building the Resilience of the Poor in the Face of Natutal Disarters". Dalam laporan itu, Bank Dunia mengingatkan, kerugian ekonomis akibat bencana alam tidak hanya terkait aset, tetapi lebih dari itu. Disebutkan, masyarakat kehilangan kesejahteraan dan tak kurang pula yang lantas jatuh miskin. Khusus bencana akibat perubahan iklim global menyebabkan 26 juta orang di dunia jatuh miskin.
Indonesia yang memiliki 10.644 desa pesisir tentu akan bertambah rentan terdampak bencana, utamanya tsunami, banjir rob, gelombang ekstrem dan abrasi. Hal ini diperparah dengan munculnya degradasi ekosistem pesisir. Data KKP 2014 menunjukkan di pantai utara Jawa saja, telah terjadi abrasi pantai 745 kilometer atau 44% total panjang garis pantai. Luasan area yang hilang karena abrasi mencapai 10.988 hektare.
Sejatinya pengelolaan bencana pesisir dan laut sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Namun, detail kebijakan pengelolaan bencana itu belum komprehensif. Bagi sektor kelautan dan perikanan sendiri, cuaca buruk dan ekstrem yang terjadi di beberapa wilayah Nusantara akhir-akhir ini telah menyengsarakan sebagian kehidupan nelayan dan pembudidaya ikan tambak di kawasan pesisir.
Para nelayan tidak bisa melaut, bahkan hilang tergulung ombak besar. Kalaupun ada daerah-daerah pesisir dan laut yang agak teduh, nelayan harus menangkap ikan lebih jauh ke tengah laut, karena daerah penangkapan ikannya semakin jauh ke arah laut lepas yang membuat biaya melaut semakin mahal.
Untuk itu, penanggulangan perlu dilakukan secara terkoordinir antar instansi terkait. Juga perlu perencanaan matang bagaimana penanggulangan dampak sosial-ekonomi terhadap keluarga-keluarga korban masyarakat pesisir khususnya di pulau-pulau kecil.
Beberapa langkah antisipatif oleh pemerintah perlu dilakukan untuk memulihkan dampak ekonomis bagi korban bencana, yakni bagaimana setelah mengalami bencana para korban secepat mungkin bisa kembali bekerja seperti sediakala, sehingga penderitaan sosial-ekonomi mereka tidak berlarut-larut. Dari sini pemerintah sudah seharusnya tanggap dan lebih responsif.
Adaptasi dan mitigasi
Upaya adaptasi dan mitigasi dalam mengatasi dampak bencana di kawasan pesisir sangatlah diperlukan. Pada dasarnya, ada tiga strategi adaptasi yang dapat dilakukan di lingkup sektor kelautan dan perikanan dalam meminimalisir dampak negatif bencana akibat perubahan iklim. Pertama, membuat perlindungan. Caranya dengan menanam tanaman mangrove dan tumbuhan pantai lainnya atau bangunan (pemecah gelombang, groin, dan lainnya) yang secara langsung dapat menahan kenaikan muka laut, hantaman gelombang besar dan rob.
Kedua, melakukan penyesuaian secara fisik maupun sosial-ekonomi dan budaya hidup. Masyarakat pesisir dapat beralih ke mata pencaharian lain yang kemungkinan tidak akan terkena dampak perubahan iklim. Di samping itu pengembangan spesies budidaya yang tahan terhadap anomali suhu, banjir, dan dampak perubahan iklim lainnya misalnya melalui rekayasa genetik dan aklimatisasi. Teknologi produksi perikanan tangkap maupun budidaya juga perlu dikembangkan sesuai dengan keadaan yang bakal terjadi akibat perubahan iklim.
Ketiga, membangun infrastruktur dan bangunan jauh dari bibir pantai atau membuat dan mengimplementasikan tata ruang berbasis perubahan iklim global.
Dalam melakukan upaya mitigasi bencana ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan yaitu pendekatan teknologi, pendekatan sosial ekonomi dan pendekatan institusi atau kelembagaan yang terkait. Ketiga pendekatan tersebut dapat diterapkan secara terpadu dalam upaya pengelolaan kawasan pesisir.
Pertama, pendekatan teknologi informasi. Sistem informasi bencana, terkait mitigasi dan mekanisme tanggap darurat secara cepat dan tepat dengan bantuan teknologi informasi terkini menjadi penting. Penanggulangan bencana dapat dilakukan melalui sistem informasi dan ketersediaan peta bencana, berbasis sistem informasi geografis (SIG) serta terintegrasi dengan sistem e-government pemerintah daerah dan memenuhi ketentuan yang digariskan International Strategy for Disaster Reduction (ISDR). Dengan empat tahapan, yakni tahap tanggap darurat, tahap rekonstruksi dan rehabilitasi, tahap preventif dan mitigasi, dan tahap kesiapsiagaan. Namun inisiatif sistem teknologi informasi bencana pemerintah daerah sangat terbatas dan ketinggalan zaman.
Kedua, pemerintah dapat melakukan pendekatan sosial ekonomi dalam upaya mitigasi dampak kerusakan lingkungan di kawasan pesisir diantaranya berupa sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat untuk menjaga lingkungan pesisir pantai, pemberian bantuan modal usaha kecil bagi masyarakat pesisir disertai dengan pelatihan ketrampilan untuk memulai kegiatan produktif. Pendekatan sosial juga termasuk pemasangan rambu atau tanda larangan di lokasi tertentu sebagai peringatan kepada masyarakat untuk tidak melakukan kerusakan lingkungan pesisir, sekaligus menjadi panduan aparat setempat dalam melakukan pencegahan dan penindakan hukum.
Ketiga, pendekatan institusi dengan melibatkan instansi yang berkepentingan dan berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup pesisir, meliputi perencanaan kegiatan, pengawasan hasil kerja pengelolaan lingkungan hidup dan pelaporan kepada pihak yang berkepentingan. Upaya pendekatan secara institusi perlu dilakukan dengan konsep pengelolaan pesisir terpadu untuk menanggulangi bencana. Konsep ini merupakan konsep pembangunan yang melibatkan semua stakeholder yakni pemerintah, masyarakat dan swasta beserta kepentingannya di kawasan pesisir.
Akhirnya, bencana datang bukan karena faktor iklim saja. Ada faktor antropogenik, dalam hal ini ulah manusia sebagai pemicu bencana di Tanah Air. Maka, urgensi mitigasi bencana pesisir juga kembali bergantung kepada manusia di negara kepulauan ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News