kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Urgensi Pencetakan Uang oleh BI


Rabu, 20 Mei 2020 / 10:24 WIB
Urgensi Pencetakan Uang oleh BI
ILUSTRASI. Petugas Teller PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. menghitung uang kertas di salah satu Kantor Cabang Bank BTN Jakarta, Senin (18/5). Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia dalam menyambut perayaan Hari Raya Idul Fitri 1441 H, Bank BTN mengaloka


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Beberapa waktu terakhir ini muncul perdebatan publik yang cukup panas terkait pencetakan uang oleh Bank Indonesia (BI). Bahkan perdebatan ini telah melibatkan dua lembaga tinggi negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai episentrum ide pencetakan uang oleh BI dan BI sendiri sebagai lembaga yang diminta untuk mencetak uang di luar sistem peraturan yang telah ditetapkan selama ini.

Saat ini hampir semua pihak meyakini bahwa ekonomi Indonesia berada pada kondisi yang sangat berisiko dan efeknya sangat dahsyat. Pandemi ini telah menggoncang sisi agregat demand dan agregat supply secara bersamaan. Selain itu, pandemi Covid-19 juga ikut mengguncang rantai pasok global sehingga berdampak ke hampir seluruh lapangan usaha.

Di sisi lain, pemerintah memiliki anggaran yang sangat terbatas baik untuk menyelesaikan masalah pandemi itu sendiri maupun untuk mengantisipasi berbagai efek domino yang ditimbulkannya terutama efek terhadap sistem perekonomian nasional. Pemerintah telah menetapkan desain anggaran untuk penyelesaian krisis pandemi Covid-19, jaring pengaman sosial, dan penanganan krisis ekonomi sebesar Rp 405,1 triliun. Anggaran ini bisa saja membengkak jika pandemi berlangsung lama.

Di tengah anggaran yang sangat terbatas ini pemerintah juga tidak memiliki keleluasaan yang cukup untuk melakukan manuver dalam menyesuaikan anggaran yang telah ditetapkan. Di tengah keterbatasan ruang gerak ini, tidak banyak opsi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah. Salah satu opsi paling rasional yang dimiliki pemerintah adalah memperlebar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk memperlebar defisit ini. Namun sayangnya di tengah kondisi ekonomi global yang mengalami kontraksi sangat besar, pembiayaan defisit ini menjadi masalah tersendiri. Opsi pembiayaan defisit dari utang hampir tidak bisa diharapkan. Sektor swasta, lembaga donor, serta negara sahabat tidak akan bisa banyak membantu karena mereka juga mengalami masalah yang sama. Dalam kondisi seperti inilah pencetakan uang oleh bank sentral dalam hal ini adalah Bank Indonesia (BI) sepertinya menjadi pilihan terbaik dan paling rasional.

Namun apakah benar kondisi yang telah dijelaskan di atas bisa dijadikan argumen yang kuat untuk pencetakan uang oleh BI?

The Last Resort

Perpu Nomor 1 Tahun 2020 sepertinya telah didesain menjadi payung hukum sapu jagat yang memberikan ruang gerak kepada pemerintah untuk menggerakan seluruh sumber daya yang dimiliki guna menyelesaikan pandemi Covid-19 beserta masalah turunannya. Salah satu hal yang diatur di dalam Perpu tersebut adalah perluasan kewenangan dan pelaksanaan kebijakan BI.

Dalam kondisi normal, kerangka kebijakan moneter BI terdiri dari tiga terminologi yaitu target akhir (ultimate target), indikator (intermediate target), dan instrumen kebijakan. Terdapat empat target akhir kebijakan moneter BI yaitu pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, stabilitas harga/inflasi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Sedangkan indikator kebijakan moneter/target antara terdiri dari dua yaitu tingkat suku bunga dan jumlah uang beredar (monetary aggregate). Untuk mencapai target akhir dan target antara tersebut BI memiliki beberapa instrumen yaitu cadangan wajib (reserve requirement), operasi pasar terbuka(open market operation), fasilitas diskonto (discount policy), dan imbauan (moral suasion).

Perluasan kewenangan BI di dalam Perpu No.1 Tahun 2020 sangatlah besar. Pemerintah memberikan kewenangan kepada BI untuk membeli Surat Utang Negara (SUN)/Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di pasar perdana. Bahkan di dalam Perpu tersebut BI memiliki kewenangan untuk memberikan akses pendanaan kepada korporasi/swasta dengan cara repo SUN / SBSN yang dimiliki korporasi via perbankan. Kewenangan baru tersebut menjadikan BI sebagai Lender of The Last Resort, peran yang telah ditinggalkan BI sebelumnya.

Dengan kewenangan baru tersebut, BI diharapkan dapat menjadi salah satu sumber pembiayaan utama bagi program pemerintah terkait program percepatan penyelesaian masalah pandemi Covid-19. Melalui mekanisme ini pemerintah bisa memperoleh dana segar untuk menutupi defisit anggaran.

Melalui perluasan kewenangan BI ini, secara langsung BI telah menciptakan uang di luar mekanisme penciptaan uang sebelumnya. Dengan kewenangan memberikan pembiayaan secara langsung kepada pemerintah, BI secara langsung telah menambah jumlah uang beredar di masyarakat. Jika pemerintah tidak menggunakan uang tersebut sebagaimana mestinya maka uang tersebut akan mengerek inflasi pada tingkat yang lebih tinggi. Dalam kondisi ini maka permintaan pencetakan uang oleh BI menjadi tidak relevan.

Di tengah potensi krisis ekonomi, pencetakan uang baru bukan hanya berpotensi menciptakan inflasi namun lebih jauhnya adalah terjadinya stagflasi, inflasi di tengah penurunan pertumbuhan ekonomi. Penurunan agregat supply yang dibarengi dengan penurunan agregat demand akan mengerek inflasi lebih tinggi. Jika penciptaan uang dilakukan maka kenaikan inflasi akan menjadi berlipat sehingga lebih tinggi dari yang diperkirakan.

Tingkat inflasi bisa menjadi lebih tinggi lagi mengingat elastisitas yang disebabkan dari persepsi masyarakat masih sangat tinggi. Menurut teori ekonomi modern, salah satu variabel yang signifikan memengaruhi inflasi adalah persepsi terhadap inflasi di masa yang akan datang. Penciptaan uang baru sangat jelas akan memengaruhi persepsi masyarakat terhadap inflasi di masa yang akan datang. Pengalaman krisis ekonomi tahun 1998 silam menjadi bukti nyata bagaimana inflasi bisa mencapai 60%, jauh di atas angka yang diperkirakan oleh pemerintah dan BI sebelumnya.

Perluasan kewenangan BI yang terdapat di dalam Perpu sudah lebih dari cukup untuk membiayai defisit anggaran yang ditetapkan pemerintah. Bahkan perluasan tersebut sebenarnya mengandung risiko yang sangat besar karena jika tidak dikendalikan dan diawasi dengan baik bisa menimbulkan moral hazard sebagaimana yang terjadi pada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada masa krisis tahun 1997/1998 silam. Tidak perlu ada pencetakan uang baru oleh BI. Pencetakan uang cukup dilakukan ketika ada penambahan aktivitas ekonomi sehingga tidak menimbulkan inflasi tinggi (hyperinflation).

Penulis : Agus Herta Sumarto

Dosen FEB Universitas Mercu Buana dan Ekonom Indef

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×