kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.921   9,00   0,06%
  • IDX 7.199   58,54   0,82%
  • KOMPAS100 1.106   11,37   1,04%
  • LQ45 878   11,64   1,34%
  • ISSI 221   1,06   0,48%
  • IDX30 449   6,23   1,41%
  • IDXHIDIV20 540   5,82   1,09%
  • IDX80 127   1,42   1,13%
  • IDXV30 134   0,44   0,33%
  • IDXQ30 149   1,71   1,16%

Urgensi perubahan pola penghitungan suara


Kamis, 25 April 2019 / 14:14 WIB
Urgensi perubahan pola penghitungan suara


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Perang urat syaraf (psy war) pasca-Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 ini benar-benar brutal dan kejam dari sisi psikis. Saling klaim kemenangan dilakukan masing-masing pihak. Kubu pasangan nomor urut 01 (Jokowi-Amin) mengirimkan psy war klaim kemenangan dengan dukungan hitung cepat (quick count) dari 12 lembaga survei ditambah dengan metode perhitungan (sistung) Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sementara di sisi lain, kubu nomor urut 02 (Prabowo-Sandi) mengklaim kemenangan dengan data-data real count dari dokumen C1 proses pemilu yang dikumpulkan para relawan dari seluruh Indonesia.

Pembangunan metode penghitungan suara secara mandiri yang dilakukan kubu 01 dan 02 ini sangat mahfum karena lambannya pemutakhiran data oleh KPU. Sejak hari pencoblosan 17 April 2019 sampai dengan 21 April pukul 07.00 WIB lalu, KPU baru mampu memasukkan data 12,27 juta pemilih sementara organisasi swadaya masyarakat justru mampu memasukkan data sampai dengan 14,94 juta pemilih. Setiap hari KPU mampu memasukkan data 3,07 juta pemilih, padahal lembaga mandiri masyarakat mampu memasukkan 3,74 juta pemilih.

Apalagi, independensi penyelenggara Pemilu yakni KPU dan lembaga negara juga banyak dipertanyakan. Banyak video yang menjadi viral, terutama soal data-data yang diungkap dalam media sosial yang menunjukkan berbagai bentuk pelanggaran keabsahan mekanisme pemilu disimpulkan masyarakat dari kubu penantang (02) sebagai ketidaknetralan penyelenggara pemilu.

Kasus-kasus ini misalnya pencoblosan kertas suara di PPLN Luar Negeri di Malaysia, antrean panjang pemilih di berbagai negara, ratusan ribu tidak bisa melaksanakan hak politiknya di Australia adalah sebagian contoh pelanggaran pemilu. Paska pemilu juga beredar viral di Indonesia seperti petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang mencoblos sendiri surat suara, penyimpanan kotak suara yang diwarnai konflik dan insiden karena ada yang disimpan di hotel, dimasukkan dalam sebuah kantor sebuah perusahaan, kotak suara dibakar, bahkan hilang.

Sementara saat memasukkan data-data ke sistem perhitungan (sistung) KPU juga diwarnai seringnya entri data yang tidak sesuai dengan dokumen C1. Bahkan, ada beberapa dokumen C1 yang berbeda dengan aslinya dan seluruhnya menguntungkan pasangan tertentu.

Ironisnya, ketika masyarakat berupaya membangun sistem swadaya untuk data perbandingan dan pengawasan, perkembangan terakhir sistem tersebut diblokir, padahal sudah memiliki izin resmi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Inilah brutal dan kejamnya Pemilu 2019, dan berlangsung sejak masa kampanye sampai dengan proses perhitungan surat suara disebabkan beratnya rivalitas dua kubu.

Sumber utama hangatnya situasi sosial rakyat Indonesia saat ini adalah persoalan kejujuran. Siapapun presiden terpilih sama sekali tidak dipersoalkan karena ketika pemimpin berangkat dengan cara-cara yang benar, amanah, dan halal, maka satu tahap perjalanan bangsa ini sudah berhasil dilakukan.

Beruntung sistem dalam jaringan atau daring (online) hasil pemilu KPU tahun ini sudah bisa diakses publik kendatipun harus bersusah payah karena lalu lintas data yang tinggi. Data-data sistung tersebut bahkan tersedia sampai level terendah yakni pada tingkat TPS. Rakyat sedikit memiliki ruang untuk melakukan klarifikasi, pengawasan dan keberatan jika menemukan data-data yang tidak benar. Hal ini membedakan dengan Pilpres 2014 yang tidak seterbuka 2019 ini.

Namun, jarak waktu rekapitulasi yang terlalu panjang sampai dengan 22 Mei 2019 untuk menentukan hasil pemilu sungguh sangat menyengsarakan rakyat di kalangan bawah. Dibutuhkan upaya keras untuk menjaga kotak suara setelah keluar dari TPS, adu fisik karena hal-hal khusus karena miskomunikasi, perang kata-kata di media sosial sehingga membentuk klasterisasi pada sosial masyarakat.

Saat ini antar masyarakat terfragmentasi karena menunggu proses perhitungan manual KPU selesai dilakukan. Ongkos sosial malah tidak terbayangkan sama sekali. Setiap pertambahan atau kenaikan data pada sistung KPU selalu mendapat reaksi dan biaya. Reaksinya adalah kecurigaan kubu tertentu sementara kenaikan biaya diperlukan mobilisasi relawan untuk memeriksa, akses internet, bahkan biaya koordinasi yang seharusnya tidak perlu dan bisa menjadi kegiatan produktif lainnya. Bahkan mobilisasi massa adalah biaya besar yang sangat boros.

Selesaikan di TPS

Saat ini data-data hasil pemilu yang diakui adalah di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Suara sah dan tidak sah berdasarkan data-data TPS. Rekapitulasi data Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Kabupaten, Provinsi seharusnya tidak diperlukan karena sifatnya hanya akumulasi data-data TPS. Banyak sekali keuntungan menyelesaikan perhitungan hasil pemilu hanya dari TPS, dibandingkan menunggu hasil perhitungan manual bertingkat dari PPS sampai KPU Pusat Jakarta.

Persoalan utama situng KPU adalah keterbatasan dalam mengadopsi teknologi. Sangat dibutuhkan perangkat lunak yang bisa membaca data-data foto dari gawai menjadi data-data algoritma sehingga bisa dilakukan operasi aritmatika. Campur tangan manusia pada titik setelah perhitungan TPS seharusnya diminimalisasi kecuali untuk kasus khusus, namun data-data unggahan mayoritas TPS yang benar seharusnya tidak dipersoalkan.

Pada saat pemilu lalu karena mekanisme manual dan pelaporan, KPPS menjadi sangat sibuk dan kelelahan dalam menyiapkan dokumen-dokumen. Setelah perhitungan yang sangat melelahkan, KPPS harus menyalin ulang data-data C1 Plano ke dalam 26 lembar kertas dan bertanda-tangan basah. Jika saat itu dalam TPS ada 10 saksi termasuk Pengawas TPS, maka diperlukan 260 lembar berita acara sertifikasi.

Waktu penghitungan yang sangat panjang sejak jam 13.00 WIB sampai dengan jam 03.00 WIB keesokan harinya (tercepat 14 jam) seharusnya terpangkas jika setiap tahap yang sudah final diupload ke sistem KPU. Pengalaman lalu, dibutuhkan 2,5 jam untuk menyelesaikan 1 kotak suara dan potensial hanya menjadi 1,5 jam per kotak suara atau seharusnya pukul 20.30 WIB selesai perhitungan. Selesai ini dalam pengertian sesungguhnya, selesai tidak akan dihitung kembali, namun data KPU bisa diawasi dan menjadi tampilan (display).

Keandalan sambungan internet memang menjadi andalan pada hari pencoblosan, dan seharusnya biaya Rp 16 triliun untuk pemilu kali ini sudah memperhitungkan hal ini. Saat itu juga anggota KPPS dan saksi menyaksikan data-data TPS berhasil diunggah, bisa difoto untuk bukti, sehingga mengurangi membuat dokumen kertas hanya yang diperlukan saja.

Pesta politik akbar seharusnya menyenangkan jika dilaksanakan dengan cepat, termasuk mengetahui hasilnya secara cepat tanpa hitungan lembaga survei.♦

Effnu Subiyanto
Direktur Koalisi Rakyat Indonesia Reformis (Koridor)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×