kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Utang Negara di Masa Pandemi


Jumat, 07 Mei 2021 / 17:01 WIB
Utang Negara di Masa Pandemi


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 terbukti telah membawa dampak yang luar biasa pada perekonomian Indonesia. Performa pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di zona minus berturut-turut selama tiga kuartal terakhir pada 2020 sudah dengan sendirinya menjadi justifikasi yang sangat valid.

Imbas Covid-19 pada kinerja keuangan pemerintah agaknya bukan pengecualian. Pelemahan denyut aktivitas ekonomi sektoral dan regional menjalar pada penerimaan negara. Pembatasan mobilitas sosial kian menyusutkan volume arus penerimaan yang mengalir ke kas negara.

Pada saat yang sama, pemerintah merilis beraneka macam insentif fiskal sebagai ikhtiar ekstra untuk pemulihan ekonomi. Reduksi tarif pajak, insentif fiskal, dan berbagai keringanan lain ditawarkan, yang semuanya menyebabkan kehilangan potensi penerimaan yang semestinya bisa diraup oleh negara.

Cerita yang hampir sama terjadi pada pos belanja negara. Kenaikan belanja lebih banyak tercurah untuk menjaga agar kelompok masyarakat yang rentan terpapar oleh dampak pandemi Covid-19 tidak terperosok terlalu dalam. Artinya, dampak lanjutan dari belanja perlindungan sosial tersebut bagi penerimaan negara, lagi-lagi juga masih minim.

Tren ini terus berlanjut memasuki tahun 2021. Kesenjangan antara penerimaan dan kebutuhan belanja yang lebih besar ditutup dengan utang. Sepanjang kuartal I-2021, posisi utang pemerintah menembus sekitar Rp 6.445,07 triliun atau ekuivalen dengan porsi 41,64% dari produk domestik bruto (PDB).

Kenaikan rasio utang di atas dalam batas tertentu masih bisa diterima logika. Alasannya sederhana. Angka PDB (sebagai faktor pembagi) yang minus niscaya akan menaikkan rasio utang. Apalagi utang nominal (sebagai unsur pembilang) juga mengalami kenaikan yang besar.

Alasan kedua, kondisi perekonomian yang sedang mengalami tekanan berat menuntut pemerintah berperan sebagai lokomotif ekonomi. Alhasil, kenaikan rasio utang selama setahun lebih pandemi Covid-19 ini tidak terlepas dari fungsi utang sebagai instrumen melawan konjungtur (countercyclical) ekonomi.

Bahwa kenaikan rasio utang diklaim sesuai dengan target di akhir tahun ini yang berkisar di antara 41%-43% agaknya patut diberi catatan. Penggunaan kata 'target' memberikan kesan bahwa angka ini adalah parameter yang harus direalisasikan. Ironis jika kemudian pemerintah dianggap 'gagal' ketika tidak mampu mencapainya.

Atribut 'target' niscaya lebih tepat apabila dilekatkan pada sasaran yang bermakna positif, misalnya pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pemerataan distribusi pendapatan. Dengan mengejar angka target ketiganya, pemerintah mengirim sinyal gereget dalam membangkitkan optimisme.

Fenomena salah kaprah juga terjadi pada penelaahan jangka menengah-panjang. Penjelasan rasio utang 41,64% masih cukup 'aman' lantaran jauh di bawah batas 60% dari PDB, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara perlu digarisbawahi pula.

Penggunaan jargon 'aman' dengan mengacu pada rambu-rambu rasio utang 60% menyodorkan penafsiran bahwa penambahan utang masih sah ditempuh pemerintah. Oleh karena itu, ada atau tidak ada pandemi Covid-19 sekalipun, kenaikan utang untuk membiayai defisit anggaran seolah menjadi hal yang lumrah.

Padahal rasio utang sebesar 60% itu sendiri hingga kini sejatinya masih menjadi perdebatan sejumlah kalangan. Secara teknis, angka tersebut berasal dari hasil simulasi IMF berdasarkan nilai median data lintas negara yang menghubungkan antara PDB dengan utang. Artinya, tidak ada landasan ilmiah yang kokoh untuk mengklaim bahwa porsi 60% sebagai rasio yang aman.

Oleh karenanya, kaidah di atas tidak seharusnya dipandang sebagai jaminan posisi yang 'aman'. Rasio utang terhadap PDB sebesar 60%, bahkan bisa lebih tinggi lagi, hanya cocok untuk negara maju. Sebaliknya, rasio 40% adalah rekomendasi untuk negara berkembang yang dalam jangka panjang tidak boleh dilanggar.

Lebih lanjut, mengaitkan kenaikan utang dengan merosotnya penerimaan negara bisa memberikan implikasi yang melenceng. Dalam konteks ini, utang bisa dipahami sebagai substitusi temporer bagi penerimaan. Namun jika keterusan (dan nyatanya memang begitu), utang di alam bawah sadar akan dianggap sebagai 'penerimaan' juga.

Narasi perihal uang negara yang terbangun tersebut jika tidak diperbaiki bisa jadi memberikan pemahaman yang tidak proporsional. Utang pemerintah adalah isu yang secara politik dan ekonomi sangat sensitif. Pemahaman yang proporsional bisa memantik kegaduhan yang tidak perlu, bahkan kontraproduktif.

Dengan mempertimbangkan berbagai potensi efek samping di atas, komunikasi kebijakan agaknya menjadi titik tolak yang paling fundamental dalam meredam bola salju permasalahan utang. Narasi utang mutlak harus diubah. Deskripsi tentang utang layak ditekankan secara seimbang antara manfaat dan risikonya.

Utang merepresentasikan akumulasi dari defisit tiap tahun. Dengan alur logika tersebut, langkah konkret pengendalian defisit harus menjadi bagian integral dari konsolidasi fiskal. Toh, rasio defisit mulai tahun 2023 harus kembali ke pakem awal. yakni maksimum 3% dari PDB. Periode tersebut krusial untuk menjaga kredibilitas fiskal.

Pengalaman Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa memberikan pelajaran yang berharga. Ketaatan otoritas keuangan AS pada regulasi menjadi modal awal untuk segera keluar dari krisis finansial global tahun 2008. Demikian pula, konsistensi Uni Eropa pada Pakta Maastricht menjadi strategi primer untuk menghindari krisis utang.

Berkaca dari situ, Kementerian Keuangan (Kemkeu) dituntut untuk cerdas dalam menyiasati kendala yuridis yang ada. Upaya pengendalian rasio defisit dan utang layak diarahkan pada penggalian sumber-sumber pembiayaan yang inovatif dan kreatif demi mengurangi beban anggaran di masa mendatang.

Model Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan blended financing, misalnya, dapat memberikan value for money bagi APBN. Pemerintah juga masih bisa memanfaatkan dana Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) tahun sebelumnya. Dana SILPA pada masa normal akan menjadi cadangan fiskal.

Pada masa pandemi Covid-19, pemanfaatan SILPA sangat pas jika dialokasikan untuk memperlebar ruang gerak fiskal, terutama belanja produktif. Belanja ini tipikal menciptakan efek pengganda lebih besar yang pada gilirannya akan berimbas pula pada potensi kenaikan penerimaan negara.Pada akhirnya,

UU Nomor 2/2020 menjadi yang pertama sekaligus yang terakhir. Jangan sampai, UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara juga akan diubah ketika rasio utang suatu saat nanti sudah mendekati 60%. Intinya, pemerintah tidak boleh lagi mengubah aturan untuk 'melegalkan' kebijakannya.

Penulis : Haryo Kuncoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×