kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Utang pembayar bunga


Rabu, 19 September 2018 / 13:03 WIB
Utang pembayar bunga


Reporter: Mesti Sinaga | Editor: Tri Adi

Sempat anteng, kemarin rupiah kembali menembus Rp 14.900-an per dollar AS. Jika bank sentral AS kembali menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan pekan depan, rupiah bisa kembali melemah ke kisaran Rp 15.000. Tak usah panik. Para ekonom dan analis yakin, Indonesia tak akan kembali terjerembab ke tubir krismon 1998.

Namun, ada satu hal yang perlu jadi perhatian. Di masa Orde Baru, ketergantungan pada utang pada negara lain dan lembaga dunia macam IMF, dianggap buruk. Pasalnya, pinjaman itu sarat dengan syarat yang mengikat dan umumnya terkait proyek yang melibatkan sang kreditur.

Memasuki reformasi, pemerintah tak lagi mengandalkan pinjaman luar negeri (bilateral dan multilateral) dan berpaling pada penerbitan surat berharga negara (SBN). Alhasil porsi SBN terus membesar. Tahun 2010, misalnya, porsi SBN terhadap utang luar negeri baru 36,6% dan Juli 2018, porsinya sudah 69,4%!

Berutang melalui SBN memang 'bebas merdeka'. Tak ada persyaratan dan dikte dari kreditur. Namun, kebebasan itu mahal harganya. Selain jangka waktu SBN yang lebih pendek, bunganya pun lebih tinggi. Bunga SBN bergantung pada pasar, yang dipengaruhi faktor dan sentimen internal maupun eksternal. Seperti belakangan ini, saat AS menaikkan bunga, BI juga harus menaikkan bunga acuan. Akibatnya biaya bunga SBN menanjak. Contoh, bunga SBR003 yang diterbitkan Mei lalu dengan bunga dasar 6,8%, kini sudah naik menjadi 8,0% mengikuti kenaikan suku bunga acuan BI yang sudah naik 125 bsp sejak Mei.

Ke depan, AS diperkirakan akan menaikkan bunganya dua kali lagi hingga 2018 dan beberapa kali kenaikan lagi di 2019. Ini akan membuat biaya bunga utang via SBN ikut naik dan nilainya akan semakin besar dan membebani keuangan negara. Bisa-bisa kita harus menambah utang untuk membayar bunga utang.

Meski mayoritas SBN diterbitkan di dalam negeri dan dalam rupiah, namun porsi asingnya masih besar. Per 14 September, porsi asing di SBN rupiah yang bisa diperdagangkan 36,6%. Ini salah yang satu tertinggi di negara emerging market.

Besarnya dana panas milik asing di SBN - yang dipakai untuk menutup defisit- menjadi salah satu penyebab rupiah mudah goyah setiap ada sentimen negatif yang bertiup.

Maka, perlu bagi pemerintah mengatur strategi dan komposisi utangnya dengan lebih baik. Kita jelas tak mau didikte kreditur asing, tapi jangan sampai pula keuangan negara kita didikte dan terombang ambing dana-dana panas.•

Mesti Sinaga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×