Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Hasil-hasil penelitian sejauh ini membuktikan, kota yang tertata apik dengan fasilitas transportasi publik baik akan memberi kontribusi positif terhadap kondisi ekonomi dan sosial warganya. Kekeliruan memilih opsi kebijakan kawasan urban bisa berakibat multidimensi, mulai penjalaran kota (sprawling), menjamurnya kendaraan pribadi, hingga emisi karbon tidak terkendali. Tapi bisa pula terjadi sebaliknya, pengelolaan perkotaan yang tepat bisa mewujudkan tata kelola mandiri berbasis transportasi publik.
Kemacetan yang merata di Jakarta mengindikasikan sistem transportasi konvensional berorientasi jalan raya telah gagal memfasilitasi mobilitas warga. Guna mengatasi kemacetan, opsi solusi jangka panjang dengan membangun mode raya terpadu (MRT) adalah sebuah inovasi kebijakan yang cerdik. MRT yang telah direncanakan semenjak dekade 1980-an ini menjadi tonggak sejarah agenda transportasi urban, hasil perpaduan antara inovasi teknologi, kejelian perencanaan, dengan keberanian mengeksekusi kebijakan.
Sistem transportasi massal berbasis rel listrik juga telah terbukti sukses di berbagai kota, seperti Hong Kong dan Singapura. Keberadaan MRT telah memengaruhi perilaku pengguna kendaraan pribadi dan berkontribusi positif terhadap mobilitas warga kota. Memang, tren tata kelola transportasi urban berkisar pada bagaimana memaksimalkan akses transportasi massal, memangkas waktu tempuh, ramah lingkungan, memangkas konsumsi energi per kapita, dan inklusif.
Saat ini, kita tengah waswas menunggu pengumuman besaran tarif tiket MRT yang akan segera dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Mengapa? Karena tarif tiket, di samping akses ke stasiun dan panjang layanan (the size of the network), adalah faktor utama daya tarik penumpang untuk menggunakan MRT.
Setidaknya, ada tiga pertimbangan utama yang perlu dicermati dalam penentuan besaran tarif tiket. Pertama, keterjangkauan harga (affordability). Tarif tiket yang dipatok lebih mahal dari moda transportasi lain seperti bus Transjakarta, akan mengurangi minat penumpang. Alasan utama warga mau menggunakan transportasi publik adalah menghemat waktu dan ongkos. Kendati MRT menawarkan ketepatan waktu, tidak menutup kemungkinan penumpang lebih memilih moda transportasi lain jika merasa tarif yang dipatok terlalu mahal. Ini terjadi pada kereta Bandara Soekarno Hatta (Soetta) yang minim penumpang karena ongkos lebih mahal dari bus Damri.
Moda transportasi lain seperti kendaraan sewa berbasis online juga akan menjadi pesaing yang dominan. Dengan menggunakan MRT, penumpang kadang harus berganti moda transportasi lain untuk sampai ke tempat tujuan akhir. Dengan kendaraan bermotor, baik roda empat ataupun roda dua, penumpang dimanjakan dengan layanan dari pintu ke pintu. Perpindahan dari satu moda ke moda lainnya juga berarti tambahan waktu dan biaya bagi penumpang. Apalagi, seandainya integrasi fasilitas transfer antarmoda belum tersedia pada tahap awal operasional MRT.
Kemudahan akses
Jadi, analisis terhadap karakteristik penumpang menjadi penting. Dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat, formulasi tarif bisa jadi lebih logis termasuk pertimbangan, apakah perlu diberikan subsidi. Misalnya, warga yang tinggal di kawasan dengan tingkat kemacetan parah kurang sensitif dengan harga. Tapi, bagi penumpang yang memiliki pilihan moda transportasi lain, seperti pemilik mobil pribadi atau yang biasa memakai jasa taksi dan ojek online, lebih peka harga.
Demikian pula dengan penumpang nonkomuter atau bukan pelaju yang cenderung lebih peka harga. Kendati harga menjadi alasan utama orang memilih moda transportasi umum, faktor lain, seperti kenyamanan dan ketepatan waktu, bisa pula mengurangi sensitivitas penumpang terhadap tarif.
Kedua, akses menuju stasiun. Kemudahan akses menuju stasiun adalah faktor yang juga menjadi pertimbangan penumpang. Kedekatan jarak antara tempat tinggal maupun tujuan akhir dengan lokasi stasiun juga memengaruhi minat warga terhadap MRT. Menurut penelitian, rata-rata toleransi jarak bagi pejalan kaki adalah sekitar satu kilometer (km).
Penelitian di Bangkok menunjukkan, minat orang ke stasiun MRT dipengaruhi beberapa hal. Di antaranya kondisi stasiun, akses bagi pejalan kaki, dan corak perjalanan yakni waktu, biaya, maupun jarak tempat tinggal ke stasiun terdekat (Chalermpong and Wibowo, 2007). Di Jakarta, faktor biaya transportasi dari rumah ke stasiun juga perlu jadi pertimbangan. Bisa saja terjadi ongkos angkutan lingkungan lebih mahal dari tarif MRT. Jika hal ini yang terjadi, maka pertanyaan berikutnya adalah, apakah perlu ada subsidi guna menarik minat penumpang yang ditargetkan mencapai 65.000 per hari atau sekitar 1,95 juta orang per bulan pada awal masa operasi.
Penelitian juga mengungkapkan, berapa jauh tingkat kesanggupan penumpang berjalan kaki menuju lokasi stasiun terdekat. Di Mumbai, India, sebanyak 85% calon penumpang masih bersedia jalan kaki ke stasiun jika jaraknya tidak lebih dari 1.250 meter. Sedangkan di Amerika Utara, sebanyak 50% pejalan kaki bersedia jalan sejauh 900 meter.
Ketiga, panjang konektivitas layanan. Perubahan perilaku dan preferensi berkendara tidak akan berubah tanpa ada sistem transportasi terintegrasi. Operasional MRT fase pertama yang menghubungkan Stasiun Lebak Bulus hingga Stasiun Bundaran Hotel Indonesia baru sekitar 16 km berpotensi mengurangi minat orang memakai MRT. Jika sistem koneksi MRT menghubungkan banyak destinasi, baik ke tempat kerja maupun wisata, ada peluang para penumpang untuk menempatkan moda transportasi itu sebagai pilihan utama. Akan lebih mudah, cepat, dan efisien bagi mereka untuk memanfaatkan MRT dengan ketersediaan banyak stasiun dan tujuan.
Memang, secara bertahap fase berikutnya yang menghubungkan Bundaran HI sampai ke kawasan Kota maupun MRT untuk menghubungkan Timur dengan Barat Jakarta, yakni dari Kalideres hingga Ujung Menteng sepanjang 31 km, juga akan dibangun. Namun, dengan baru beroperasinya fase pertama MRT tambahan pula ada peluang kesulitan berpindah atau berganti moda transportasi lainnya, minat penumpang bisa tergerus.
Di luar tiga faktor esensial tersebut, komponen lain yang turut memengaruhi minat penumpang terhadap MRT adalah harga kendaraan pribadi yang murah, harga bahan bakar minyak (BBM) yang terjangkau, dan tarif parkir yang tidak mahal.♦
Arif Budi Rahman
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News